• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Makna Cinta: Biarkan Aku Bersama Kekasihku

Cinta yang hanya dimiliki oleh orang yang benar-benar bucin kepada Tuhan, yaitu para sufi yang sudah menikmati indahnya dan nikmatnya beribadah kepada Tuhan

Khairul Atfal Khairul Atfal
04/11/2021
in Hikmah
0
Cinta

Cinta

238
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hak asasi yang ada pada diri manusia sekaligus menjadi hajat kehidupan dasar mereka ada 3 macam, kebebasan, kepercayaan dan cinta. Kata cinta tidak bisa diartikan pada satu sisi saja. Karena cinta bisa diartikan pada sebuah rasa yang memberikan kenyamanan, ketenangan dan kenikmatan dalam kehidupan. Frekuensi cinta yang terlalu tinggi terkadang dapat membuat manusia mengorbankan sesuatu di luar nalar manusia biasa.

Cinta bisa membuat manusia menemukan tujuan kehidupan yang sebenarnya, keceriaan, sehingga terciptalah sebuah seni keindahan yang dapat merangsang tumbuh kembangnya cinta. Rasa keindahan yang ada pada diri manusia dapat terpancing, yang akhirnya timbul rasa kecintaan. Syekh Amin al-Kurdi pernah mengutarakan pendapatnya bahwa cinta adalah sebuah kecenderungan tabiat kepada suatu hal, karena keadaan itu amat nikmat bagi orang yang sedang bercinta kasih.

Namun, dari sisi lain cinta itu tidak bisa di definisikan secara pasti dan menjadi hak paten. Jalaluddin al-Rumi pernah berpendapat bahwa siapapun yang mendefinisikan cinta sesungguhnya dia tidak pernah merasakannya. Siapa yang tidak pernah meneguknya, maka dia tidak pernah mengenalnya. Dan siapapun yang mengatakan dia telah merasa puas oleh cintanya, berarti dia tidak pernah mengenal cinta itu, karena cinta bersifat mereguk tanpa pernah merasa puas.

Begitulah cinta dalam Islam. Cinta yang tidak bisa ditentukan menurut tingkat sosial atau ras. Biasanya manusia yang memilki kecerdasan akan lebih mampu mengungkapkan rasa cintanya, dibandingkan manusia yang memilki kecerdasan dibawah standar. Seorang sastrawan tentunya lebih puitis dan menyentuh perasaan dalam mengungkapkan cintanya, daripada seseorang yang tidak pernah terjun dalam dunia satra.

Di zaman sekarang kata “cinta” sering disalah artikan dan disalah gunakan. Banyak dari kalangan para pemuda pemudi yang menjalin hubungan yang tidak pernah dianjurkan oleh Syari’at Islam. Tidak sedikit dari pemuda pemudi itu yang berlatar belakang pendidikan pesantren, tahfidz atau bahkan anak kyai. Mereka berdalih bahwa hubungan yang mereka lakukan adalah cinta. Padahal dibalik rasa cinta, ada rasa nafsu yang konsepnya hampir sama dengan cinta, namun dia lebih mengarah untuk berbuat kejelekan.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Patah Hati? Begini 7 Cara Stoikisme dalam Menyikapinya, Yuk Simak!
  • Umat Islam, Mari Menebar Cinta dan Kasih Sayang
  • Roro Mendut sebagai Kisah Refleksi Perempuan Masa Depan
  • Mencintai karena Allah dalam Perspektif Mubadalah

Baca Juga:

Patah Hati? Begini 7 Cara Stoikisme dalam Menyikapinya, Yuk Simak!

Umat Islam, Mari Menebar Cinta dan Kasih Sayang

Roro Mendut sebagai Kisah Refleksi Perempuan Masa Depan

Mencintai karena Allah dalam Perspektif Mubadalah

Rasa cinta yang dimiliki manusia kepada lawan jenisnya sama sekali tidak jadi masalah. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mencintai lawan jenis. Namun, letak permasalahannya ada pada cara mereka menjalaninya. Berduaan dengan yang bukan mahram sudah menjadi tradisi yang biasa-biasa saja. Tidak ada himbauan dan larangan dari orang tua atau dari orang-orang terdekatnya.

Ketika rasa cinta itu memungkinkan adanya akibat buruk, lantas mencintai apakah yang mutlak baiknya? Dari pertanyan itulah orang-orang sufi mengemukakan pendapat bahwa mencintai pemilik dan pemberi hiasan jauh lebih berharga daripada hanya sebatas hiasannya saja. Seutas lembar surat dan sapu tangan dari sang kekasih, tidak begitu berarti apabila dibandingkan dengan pemilik surat dan sapu tangan itu sendiri.

Derajat cinta paling tinggi ialah cinta kepada Sang Pencipta, dan itulah cinta yang sebenarnya, cinta yang berlandaskan Syari’at Islam. Cinta yang hanya dimiliki oleh orang yang benar-benar bucin kepada Tuhan, yaitu para sufi yang sudah menikmati indahnya dan nikmatnya beribadah kepada Tuhan. Karena cinta dari seorang sufi muncul sebagai sebuah perwujudan bahwa ruhnya adalah ruh ilahi yang terkunkung dalam material. Sehingga dia tidak akan pernah merasa bahagia sampai dia bebas dan bersatu dengan Tuhan.

Sama seperti yang dilakukan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, perempuan sufi yang memilih hidup tanpa seorang kekasih kecuali Tuhannya. Cerita itu dimulai ketika ada seorang pemuda yang ingin melamar, seseorang yang ingin menjadikan dia sebagai kekasihnya karena parasnya yang cantik dan keindahan matanya. Namun, apa yang terjadi setelah mendengar pernyataan sang pemuda itu? Rabi’ah al-Adawiyah malah mencukil matanya sendiri dan memberikan kepada pemuda itu.

Di waktu yang lain, datang seorang pemuda yang berniat untuk meminangnya juga. Dia akan memberikan mahar yang sangat luar biasa dan akan memberikan dinar yang tidak sedikit tiap bulannya. Namun, lagi-lagi Rabi’ah al-Adawiyah tetap menolaknya dan berkata “Sungguh, aku tidak akan merasa senang jika kau menjadi budakku. Dan semua apa yang kau punya kau serahkan kepadaku, atau kau akan menarik kecintaanku kepada Allah meskipun hanya sebentar.”

Dan begitulah kira-kira ketika cinta ada pada tempat yang semestinya. Dia tidak akan pernah membiarkan orang lain memisahkan dia dari kekasihnya. Dia tidak akan pernah membiarkan orang lain mengusik ketenangannya saat bersama kekasihnya. Sebagaimana potongan besi yang dimasukkan kedalam kobaran api tentunya akan merah membara. Pada tahap itulah biasanya si pecinta akan mengatakan “Akulah Tuhan”, sebagaimana besi dalam kobaran api tadi, andai saja ia punya kuasa untuk berucap, tentu ia akan berkata “Akulah api.”

Begitulah para sufi memandang cinta dalam kehidupan mereka. Kehalusan jiwa yang dilakukan oleh orang-orang sufi diperlukan agar agama tidak dipahami terlalu legal yang biasanya sedikit berbeda dengan kalang orang-orang ahli tauhid dan fiqih. Meskipun demikian, konsep cinta dalam al-Qur’an juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sisi sosial. Cinta yang ada dalam al-Qur’an selalu ditempatkan dalam konteks agar mendapatkan kebaikan dan keadilan sosial. []

Tags: CintaKisah CintaSufitasawuf
Khairul Atfal

Khairul Atfal

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dari Sumenep yang kadang-kadang suka baca dan suka nulis.

Terkait Posts

Kerja Istri

Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

21 Maret 2023
sejarah perempuan

Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

21 Maret 2023
Perempuan Bekerja

Perempuan Juga Wajib Bekerja

21 Maret 2023
Prinsip Perkawinan

Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

21 Maret 2023
tujuan perkawinan

Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

20 Maret 2023
Poligami

Cara Al-Qur’an Merespon Poligami

20 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kerja Istri

    Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist