• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Quarter Life Crisis Pada Perempuan

Quarter Life Crisis tidak akan menakutkan apabila kita punya kekuatan untuk maju, dan bergerak mencari. Namun akan mengerikan saat kita hanya diam dan meratapi tanpa mencari jalan yang lain.

Rofi Indar Parawansah Rofi Indar Parawansah
05/11/2020
in Kolom, Personal
0
jomblo sampai meninggal

jomblo sampai meninggal

345
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Akhir-akhir ini banyak yang membahas mengenai Quarter life crisis, beberapa penulis hingga youtuber memberikan ulasan mengenai hal tersebut. Apa sih Quarter life crisis itu? Menurut Fischer .K.  (2008), Quarter Life Crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia dua puluhan.

Quarter Life Crisis juga dapat dikatakan sebagai krisis emosional yang menimpa seseorang, dimana masa ini merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Biasanya dialami saat usia 18 sampai 28 tahun. Di mana ketika seseorang telah menyelesaikan pendidikan wajib belajar, akan ada banyak kebingungan yang menerpa dirinya. Antara lanjut kuliah, bekerja, atau menikah saja.

Karena tidak semua orang mendapat privilage bisa langsung melanjutkan pendidikan seperti yang telah ditetapkan oleh keluarganya. Ada banyak remaja pra dewasa yang dibenturkan dengan keadaan, dimana kerapkali keadaan tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi dan cita-citanya selama ini.

Jika kamu mengalamai masa-masa ini pada usia dibawah 20 an, mungkin krisis itu tiba lebih awal. Berbaik sangkalah, bahwa krisis yang kita hadapi akan menjadi proses pembelajaran yang menantang adrenalin. Papalia dan Feldman (2014) mengatakan bahwa pada masa Quarter Life Crisis ini seseorang sudah mulai mengeksplorasi diri (emerging adulthood), mulai hidup terpisah dari orang tua dan mandiri, dan mulai mengembangkan sistem atau nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya.

Karena itu, sebisa mungkin krisis ini harus dapat kita sadari sedini mungkin. Lalu segera alihkan dengan mengeksplorasi hal hal baru. Karena banyak sekali orang yang mengalami krisis ini tapi mereka tidak menyadari sedang mengalaminya, mereka hanya merasa bahwa ada yang salah dengan apa yang saat ini dijalani.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Baca Juga:

Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

Perempuan Juga Wajib Bekerja

Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Merasa tertekan dengan keadaan yang sedang mereka kerjakan. Merasa memikul beban karena realita tak seperti ekspektasi. Hingga memunculkan ketakutan-ketakutan akan masa depan yang tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Krisis Emosional di usia 20 an ini terdengar menakutkan bukan? Tapi ternyata tidak semua orang merasa cemas, resah bahkan tertekan akan masa ini. Ada juga yang justru merasa antusias bahkan tertantang untuk bisa melalui krisis ini dengan baik. Disinilah peran lingkungan dan faktor intelektual hingga spiritual seorang remaja pra dewasa diuji. Karena ketiga aspek tersebut merupakan salah satu bagian penting yang terkadang dilewatkan begitu saja.

Quarter Life Crisis tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan ketika dia sudah tahu tujuan hidupnya seperti apa. Dan ada keyakinan bahwa di masa inilah kita dituntut untuk creative dan tidak merasa putus asa. Walaupun apa yang berada didepan mata begitu jauh dari cita-cita.

Namun kalau kamu tetap merasa takut, itu juga merupakan hal yang wajar. Tetap tanamkan dalam diri bahwa kamu mampu melalui fase ini. Krisis yang dialami oleh perempuan tidak sama dengan laki-laki. Ada stigmatisasi yang melekat pada perempuan. Membuat perempuan kerap merasa resah.

Biasanya Krisis yang dialami oleh perempuan adalah; Pertama, mengenai karier atau jalan yang ditempuh untuk mengaktualisasi dirinya. Hal ini kerap menjadi keresahan tersendiri saat ia merasa bahwa posisinya saat ini tidak sama dengan teman-temannya.

Melihat temannya berhasil masuk perguruan tinggi ternama sedangkan ia harus menerima kegagalan, bukan tidak mungkin akan timbul rasa tidak percaya diri dan menyalahkan diri sendiri. Atau saat yang lain sudah dapat posisi strategis namun ia masih ke sana ke mari memasukkan lamaran pekerjaan, pasti timbul pertanyaan mengapa harus seperti ini? Tidakkah bisa lebih cepat. Dan sebagainya.

Kedua. Biasanya setelah karier yang menjadi keresahan pada perempuan adalah penampilan. Walaupun banyak orang mengatakan ia beruntung dengan segudang prestasi dan berbagai pencapaian namun semua itu akan tetap terasa kurang saat ia merasa tidak percaya diri terhadap penampilan dirinya sendiri.

Bukan hal aneh, saat perempuan sering melihat wajahnya pada cermin, dan merasa memiliki kekurangan. Muncul jerawat saat datang bulan saja sudah membuat sebagian perempuan merasa resah karena merasa kurang pede. Ibu hamil juga kerap kali merasakan insecure, saat bentuk badannya berubah atau mukanya berjerawat.

Padahal hal demikian adalah normal terjadi karena ada perubahan hormon dalam tubuh. Tapi sekali lagi, semua itu karena kecantikan fisik selalu dikaitkan pada perempuan, kerap kali menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang penting yang harus dimiliki.

Poin nomor tiga adalah pernikahan dan pasangan. Hal ini yang sering diresahkan oleh perempuan berkepala dua. Seringkali pernikahan dan pasangan dianggap sebagai tolak ukur bagi perempuan, sederet gelar yang ia dapat tak akan bermakna jika belum bergelar seorang istri. Apalagi Indonesia adalah negara kolektivistik di mana penilaian dan tanggapan dari lingkungan adalah hal yang dianggap penting bahkan dapat memengaruhi bagaimana individu berperilaku.

Bukan tidak mungkin ketiga poin diatas mampu membuat perempuan tidak percaya diri ketika tidak mendapatkannya. Memang, bukan hanya perempuan yang mengalami fase ini. Laki-laki juga mengalaminya. Hanya saja perempuan lebih mendapatkan tekanan karena “usia reproduksi” sering kali menjadi alarm.

Saat ingin fokus terhadap pendidikan dan pekerjaan perempuan akan di ingatkan untuk tidak melupakan bahwa pernikahan sudah seperti keharusan yang perlu dilaksanakan. Jika sudah menemukan pasangan maka harus di segerakan. Kalau belum menemukan, akan buru-buru dicarikan.

Setelah menikah, alarm lainnya ikut berbunyi. Untuk tidak menunda mempunyai momongan. Sekali lagi, usia emas perempuan jangan sampai terlewatkan. Semakin berumur, semakin menurun. Hal tersebut menambah beban tersendiri pada perempuan. Quarter Life Crisis sudah menakutkan secara general. Apalagi jika ditambah dengan stigmatisasi yang melekat pada perempuan.

Lantas apa yang bisa kita persiapkan untuk “menyambut” masa Quarter Life Crisis? Beberapa hal yang mungkin bisa kite persiapkan untuk menghadapi masa krisis ini adalah; pertama, persiapkan mental dan pengetahuan. Seperti orang yang akan berperang, untuk menjadi pemenang kita harus punya amunisi dan bekal yang cukup. Jangan sampai kita kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Bekali diri kita dengan keilmuan dan keyakinan bahwa seberat apapun krisis yang akan kita lalui, kita harus bisa melaluinya dengan baik.

Dukungan dari keluarga dan lingkungan disekitar juga menentukan, orang tua sudah saat nya untuk lebih waspada. Karena pada masa-masa krisis ini biasanya para remaja akan mengalami guncangan emosi dan mood yang cenderung naik turun. Usahakan bahwa orang tua adalah pendukung utama, jangan malah ikut menyudutkan atas keputusan yang diambil.

Yang kedua, jangan pernah membandingkan diri kita dengan mereka. Karena pasti beda, tidak akan sama. Semua orang punya masalah masing-masing, apalagi jika hanya melihat kebahagiaan mereka melalui sosial media. Karena bisa saja yang mereka tampilkan di media adalah cara mereka menutupi luka di dunia nyata.

Tapi, ada kalanya kita harus melihat mereka. Sebagai pemacu semangat dan tidak tinggal pada zona nyaman. Tapi jangan pernah menekan dirimu untuk seperti mereka. Dan terakhir, jangan pernah berhenti mencari. Mencari tahu apa yang kamu mau. Mencari ilmu untuk mengupgrade skill dalam diri. Dan mencari kebahagiaan untuk diri kita sendiri. Quarter Life Crisis tidak akan menakutkan apabila kita punya kekuatan untuk maju, dan bergerak mencari. Namun akan mengerikan saat kita hanya diam dan meratapi tanpa mencari jalan yang lain. []

 

Tags: keluargaparentingperempuanPsikologi Remaja
Rofi Indar Parawansah

Rofi Indar Parawansah

Perempuan belajar menulis

Terkait Posts

Perayaan Nyepi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

22 Maret 2023
Menjadi Minoritas

Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

21 Maret 2023
Marital Rape

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

21 Maret 2023
Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Rethink Sampah

Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

20 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil

    Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist