• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Tingkatkan Konsumsi Daging Menuju Keluarga Bebas Stunting Refleksi Moment Iduladha dan Harganas

Dampak Panjang dari rendahnya angka konsumi daging di atas salah satunya adalah angka stunting yang masih tinggi. Hingga permasalahan gizi lainnya di Indonesia

Nuril Qomariyah Nuril Qomariyah
03/07/2023
in Featured, Keluarga
0
Konsumsi Daging

Konsumsi Daging

831
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Salah satu kewajiban umat muslim pada moment Iduladha adalah menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Selain itu juga  Sunnah (Sunnah Muakkad) untuk berkurban, sapi atau kambing di lingkungannya sebagai wujud rasa syukur.

Moment Iduladha dan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) yang bersamaan di akhir Juni kemarin. Menjadi penting untuk saling mengedukasi anggota keluarga, tentang pentingnya mengkonsumsi daging (protein) untuk menekan angka stunting. Terkait hal ini, penting untuk kita pahami bersama, relasi antara mengkonsumsi daging, kondisi iklim, dan tingginya angka stunting.

Mengkonsumsi Daging dan Perubahan Iklim

Mungkin sebagain dari salingers, sering mendengar bahwa mengkonsumsi daging berlebih berdampak buruk pada perubahan iklim. Namun, ketika kurang dalam mengkonsumsi daging (protein hewani) juga memiliki dampak yang cukup serius pada kondisi gizi masyarakat. Khususnya bagi anak-anak dalam proses tumbuh kembangnya. Sehingga, tidak heran jika kemudian angka prevelensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi.

Mengutip dari theconversation.com Frank M. Mitloehner Professor of Animal Science and Air Quality Extension Specialist dari Universitas California. Ia menyatakan bahwa, memilih untuk tidak mengkonsumsi daging dan produk olahannya, bukanlah suatu hal yang cukup signifikan untuk lingkungan.

Justru, jika mengurangi asupan daging secara ekstrem, itu juga bisa memiliki konsekuensi gizi yang berbahaya. Salah satunya stunting yang masih tinggi angkanya di Indonesia, sebab masih rendahnya angka konsumsi daging masyarakat

Baca Juga:

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Tafsir Sakinah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Membangun Kehidupan yang Sehat Dimulai dari Keluarga

Frank mengkaji kondisi di Amerika Serikat, ia melakukan penelitian di University of California, Davis, jika praktik Senin Tanpa Daging diadopsi oleh semua orang Amerika, kita hanya akan melihat pengurangan emisi GRK sebesar 0,5%. Hal ini tentu, dengan memperhatikan aspek bahwa, permasalahan lingkungan tidak serta-merta dapat dikurangi dengan mengkampanyekan pengurangan konsumsi daging bagi masyarakat.

Jika melihat konteks di Indonesia, data Organization of Economic Cooperation and Development, menyebutkan jumlah konsumsi untuk daging ayam Indonesia hanya sebesar 8,1 kilogram (kg) per kapita pada 2021. Angka ini masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 14,9 kg per kapita.

Sedangkan untuk, konsumsi dari daging sapi di Indonesia sebesar 2,2 kg per kapita di bawah rata-rata dunia sebesar 6,4 kg per kapita. Lalu, untuk daging domba di Indonesia tercatat sebesar 0,4 kg per kapita di bawah rata-rata dunia 1,3 per kapita.

Rendahnya Asupan Daging dan Stunting di Indonesia

Dampak Panjang dari rendahnya angka konsumi daging di atas salah satunya adalah angka stunting yang masih tinggi. Hingga permasalahan gizi lainnya di Indonesia. Mengutip dari Gatra.com, Ketua Tim Kerja Balita Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Nida Rohmawati. Menyampaikan bahwa angka stunting pada balita berusia 12-23 bulan justru tercatat mengalami kenaikan.

Hal itu pun terjadi karena balita yang mulai menerima pemberian makanan pendamping ASI tidak memperoleh asupan gizi yang cukup, terutama dari protein hewani. Protein hewani dengan asam amino esensial dapat memacu kecukupan gizi untuk pertumbuhan anak.

Jika melihat kondisi di lingkungan sekitar penulis, salah satu faktor yang menyebabkan masih rendahnya asupan daging masyarakat, sebab harga belinya yang cukup tinggi. Sehingga, tidak menutup kemungkinan masyarakat jaub lebih memilih untuk mengkonsumsi protein nabati seperti tahu dan tempe, dibandingkan daging.

Bahkan, mirisnya beberapa keluarga dengan kondisi ekonomi rendah, justru hanya mengkonsumsi daging pada waktu-waktu tertentu saja. Tidak heran jika kemudian, angka stunting yang tinggi salah satunya karena rendahnya asupan protein hewani di masyarakat.

Selain itu, ada banyak faktor lain, seperti tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan, kondisi sosial budaya, pola pengasuhan  dan letak geografis yang juga mempengaruhi.  Sehingga, untuk mengatasi hal ini, perlu adanya komitmen bersama semua pihak, untuk terus melakukan beragam hal baik untuk memutus mata rantai stunting.

Mulai dari tidak melakukan praktik kawin anak, mengedukasi catin tentang gizi, dan rutin mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang. Dan banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk menekan angka stunting ini, termasuk beragam program yang sudah diupayakan oleh pemerintah.

Peran Keluarga untuk Cegah Stunting

Pemerintah telah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan yang signifikan dari kondisi 24,4% pada 2021 menjadi 14% pada 2024. Strategi untuk menurunkan angka stunting juga sudah masuk dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting sesuai PP No 72 Tahun 2021.

Peraturan Pemerintah tersebut mendorong sejumlah langkah, seperti peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan terkait program penurunan angka stunting di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa.

Sasaran utama dari progam penurunan stunting ini sudah tentu adalah keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat. Beragam intervensi lintas lembaga mengupayakan agar seluruh keluarga memiliki pemahaman terkait pentingnya mencegah stunting sejak dini. Sebab, stunting bukan sebatas terkait asupan gizi saja.

Namun, bagaimana membangun mindset dan pemahaman masyarakat bahwa, mencegah stunting adalah hal yang penting. Karena, beberapa kalangan masyarakat masih beranggapan bahwa stunting adalah penyakit atau bahkan aib, sehingga enggan untuk memperoleh intervensi dan pendampingan program.

Cerita dari salah satu teman penulis, yang pernah menemukan salah satu ibu dengan balita yang memperoleh asupan makanan tambahan saat posyandu, justru menolak. Sebab tidak mau jika kemudian anak atau keluarga memiliki label keluarga beresiko stunting. Kondisi lain yang penulis juga temukan di lingkungannya, beberapa anak yang beresiko stunting justru berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas.

Mereka enggan memberikan anaknya asupan makanan dengan gizi seimbang, dengan alasan anak-anak mereka yang menolak dan tidak mau memakannya. Melihat hal ini tentu sangat miris, sebab beberapa faktor tadi di awal, akar masalah utamannya adalah terkait mindset. Beberapa keluarga dan masyarakat masih minim yang memiliki mindset atau pemikiran terbuka terkait permasalahan stunting ini.

Menuju Keluarga Bebas Stunting

Hari Keluarga Nasional ini juga mengingatkan kita, bahwa keluarga memegang peran kunci untuk mewujdukan keluarga bebas stunting. Sebab, dari keluarga yang bebas stunting ini yang akan melahirkan keluarga-keluarga berkualitas menuju Indonesia emas 2045. Membangun ketahanan keluarga yang bebas stunting untuk melahirkan generasi emas berkualitas, juga telah diperintahkan dalam Al Quran yakni dalam Surah An Nisa ayat 9; yang artinya:

“Hendaklah takut orang-orang yang andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di belakang (kematian) mereka maka mereka mengkhawatirkannya; maka hendaklah mereka juga takut kepada Allah (dalam urusan anak yatim orang lain), dan hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar (kepada orang lain yang sedang akan meninggal).”

Sangat jelas di sini, bahwa jangan sampai kemudian kita meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita. Anak-anak cucu kita jangan sampai menjadi generasi yang lemah. Lemah dalam konteks ini, baik lemah secara fisik, psikis, maupun spiritual.

Jika kita tidak melakukan upaya untuk menekan angka stunting, secara tidak langsung kita telah membiarkan generasi penerus kita dalam kondisi yang lemah. Sehingga, perlu adanya komitmen bersama semua pihak sesuai dengan perannya masing-masing melakukan ragam praktik baik untuk mencegah stunting. Menuju Keluarga Bebas Stunting, Hari Keluarga Nasional Ke-30 (29 Juni 2023). []

Tags: agamaHari Raya IduladhaislamkeluargaKonsumsi DagingKurban
Nuril Qomariyah

Nuril Qomariyah

Alumni WWC Mubadalah 2019. Saat ini beraktifitas di bidang Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak di Kabupaten Bondowoso. Menulis untuk kebermanfaatan dan keabadian

Terkait Posts

Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID