• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

5 Hal Penting yang Perlu Diperhatikan saat Menghadapi Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual yang terjadi tanpa pandang usia, profesi, jabatan, bisa terjadi pada perempuan juga laki-laki. Maka, suatu keharusan bagi kita untuk berpihak pada korban

Yuyun Khairun Nisa Yuyun Khairun Nisa
30/06/2022
in Publik
0
Korban Kekerasan Seksual

Korban Kekerasan Seksual

563
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kasus dan menjadi korban kekerasan seksual yang perempuan alami di tahun 2022 semakin marak terdengar. Mulai dari kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren di Bandung dan Subang. Bahkan akhir-akhir ini seorang laki-laki mencium anak kecil di warung anggapannya malah bukan pelecehan seksual oleh Kapolsek Gresik, lantaran pelaku tidak membuka baju si anak tersebut. Sungguh pemikiran yang tidak masuk akal!

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2022, data kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG), secara umum, terhadap perempuan naik sekitar 52%, dari 215.694 kasus di tahun 2020 menjadi 327.629 kasus di tahun 2021.

Kasus kekerasan seksual senyatanya bak fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan yang akhirnya naik ke permukaan. Baru-baru ini seorang penyanyi perempuan vokalis Vierratale, Widy Soediro Nichlany juga angkat suara terkait pengalaman kekerasan seksual yang pernah ia alami di podcast #ClosetheDoor milik Deddy Corbuzier, pada 23 Juni 2022.

Menilik Pengalaman Widy Soediro Nichlany

Widy menuturkan bahwa, “Belum tentu orang-orang yang punya pengalaman buruk bisa speak up. Bukan karena tidak bisa, it’s just not easy.” Sementara itu, menurut Darin Rania, seorang psikolog dalam artikelnya di hipwee.com, ia menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual seringkali sulit memberontak, bahkan untuk sekedar menolak atau teriak minta tolong.

Hal tersebut karena korban kekerasan seksual berada dalam situasi yang mencekam, atau dalam ranah psikologi bernama “freeze response.” Kondisi demikian termasuk respons alami otak manusia ketika mendapat serangan baik fisik maupun seksual. Pada dasarnya, otak manusia butuh waktu lebih lama untuk berpikir secara rasional atas apa yang ia alami.

Baca Juga:

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Korban KS Difabel dan Hak Akses Kesehatan: Perspektif KUPI

Ketika Dokter Jadi Predator, Alarm Kekerasan Seksual di Layanan Kesehatan

Apalagi kasus pelecehan seksual yang tentunya terjadi secara tiba-tiba, membuat respons korban freezing, cenderung diam tidak berkutik. Namun, kali ini Widi sudah lebih kuat untuk mengambil tindakan. Dengan Cinta Laura Kiehl yang menemani, akhirnya Widy berani menceritakan pengalaman pelecehan bahkan kekerasan seksual yang pernah ia alami.

Meskipun kejadian memilukan telah terjadi beberapa waktu silam, trauma yang membekas masih jelas dan nyata terasa bagi korban kekerasan seksual. Air mata tak sanggup lagi terbendung. Untungnya ada Cinta Laura yang menemani dan menguatkannya, sehingga membuat Widy menjadi lebih kuat untuk speak up.

Respons Cinta Laura terhadap korban kekerasan seksual menjadi perhatian publik. Dari video podcast yang berdurasi 1 jam lebih 3 menit tersebut, penulis merangkum 5 hal penting yang perlu kita perhatikan saat menghadapi korban kekerasan seksual.

Jangan paksa korban kekerasan seksual untuk bercerita

Pengalaman kekerasan seksual yang begitu menyakitkan, seringkali membuat seseorang shock. Tak jarang korban lebih memilih diam, menutup diri, menghindar atau tidak mempersoalkan pengalaman buruk yang ia alami. Hal tersebut karena mental korban belum siap mengungkapkan, atau bahkan menerima kenyataan atas apa yang terjadi atas dia. Tidak ada seorangpun yang ingin mengalami kekerasan seksual.

Selain itu, setiap orang juga memiliki kekuatan mental dan coping mechanism (cara merespon pikiran dan perilaku terhadap situasi penuh tekanan) yang berbeda. Sebagian orang merasa mudah bercerita, tetapi sebagian lainnya cenderung menutupi. Memaksakan korban kekerasan seksual untuk bercerita hanya akan menambah tekanan yang terasa.

Mendengarkan dan menemani korban

Ketika mental korban sudah lebih baik, dan ia memutuskan untuk bercerita, maka yang perlu kita lakukan ialah mendengarkan. Korban perlu meluapkan segala perasaan dan tekanan yang terasa, salah satunya dengan bercerita, dan yang ia butuhkan hanyalah didengarkan. Menjadi pendengar yang baik dengan tanpa menilai apalagi menghakimi.

Menemani korban kekerasan seksual juga penting agar ia tidak merasa sendiri. Korban membutuhkan dukungan moral dari orang-orang terdekatnya, orang tua, saudara, sahabat maupun teman.

Meyakinkan korban untuk tidak merasa bersalah

Ironisnya, kasus kekerasan seksual justru seringkali membuat korban merasa bersalah. Kasus kekerasan seksual dianggap aib yang seharusnya tidak diceritakan pada orang lain. Padahal, hakikatnya yang menjadi aib adalah pelaku kekerasan seksual, bukan korbannya.

Banyak pandangan yang perlu diluruskan terkait kekerasan seksual. Bahwa mengungkapkan kasus ini bukanlah aib, tetapi bentuk perlawanan terhadap pelaku. Perempuan yang mengalami kekerasan seksual bukan berarti ia kehilangan kehormatannya, justru pelakulah yang kehilangan harga dirinya.

Kehormatan tidak saklek dikaitkan dengan keperawanan atau keperjakaan, melainkan kepribadian individu itu sendiri. Kalimat-kalimat empatik sangat penting untuk menguatkan korban agar tidak merasa bersalah dan tetap merasa berharga.

Speak Up atau melapor atas izin korban

Saat memiliki pemahaman bahwa mengungkapkan kasus kekerasan seksual itu penting untuk mendapatkan keadilan bagi korban, maka sekalipun tak akan ada keraguan untuk berani berbicara. Namun, kita juga perlu memastikan korban menyetujuinya. Jangan sampai mental korban yang masih terguncang, menjadi semakin memburuk oleh sebab tindakan kita yang impulsif.

Melaporkan kasus kekerasan seksual yang korban alami harus dengan izinnya. Meskipun kita ketahui bahwa kasus ini adalah tindakan yang sangat tercela, tetapi kita juga harus mempertimbangkan kondisi korban. Karena tidak semua orang langsung siap berhadapan dengan kasus atau pelaku kekerasan seksual.

Berpihak pada korban

Dalam mengatasi kasus kekerasan seksual, sangat penting untuk berpihak pada korban. Baik dari keluarga, sahabat, teman, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, bahkan kepolisian atau aparat negara. Dengan telah disahkannya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 9 Mei 2022, dapat menjadi payung hukum yang kuat dalam mengadili pelaku kekerasan seksual.

Namun, kita harus tetap mengawal implementasi UU tersebut agar aparat hukum benar-benar melaksakannya. Keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual sangat berpengaruh dalam proses pemulihan dari hal-hal traumatis. Korban harus mendapatkan keadilan dan perlindungan yang nyata. Tidak ada satupun alasan yang dapat menormalisasi tindakan kekerasan seksual.

Oleh karenanya, kekerasan seksual yang terjadi tanpa pandang usia, profesi, jabatan, bisa terjadi pada perempuan juga laki-laki. Maka, suatu keharusan bagi kita untuk berpihak pada korban. Sebaliknya, apa jadinya jika sebuah bangsa terus melindungi pelaku kekerasan seksual dan menormalisasi tindakan kekerasan? Naudzubillah. []

Tags: korban kekerasan seksualPerlindungan KorbanSpeak UptraumaUU TPKS
Yuyun Khairun Nisa

Yuyun Khairun Nisa

Yuyun Khairun Nisa, lahir di Karangampel-Indramayu, 16 Juli 1999. Lulusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Saat ini sedang bertumbuh bersama AMAN Indonesia mengelola media She Builds Peace Indonesia. Pun, tergabung dalam simpul AMAN, Puan Menulis (komunitas perempuan penulis), dan Peace Leader Indonesia (perkumpulan pemuda lintas iman). Selain kopi, buku, dan film, isu gender, perdamaian dan lingkungan jadi hal yang diminati. Yuk kenal lebih jauh lewat akun Instagram @uyunnisaaa

Terkait Posts

Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID