• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Satu Sama Lain Tidak Merasa Paling, Tapi Saling

Apapun pilihan hidup perempuan, mau bekerja dengan tetap menyandang status sebagai ibu rumah tangga, atau pure hanya di rumah saja, tak pernah lagi merasa paling atau ada seteru diantaranya

Zahra Amin Zahra Amin
31/07/2021
in Personal
0
Paling

Paling

222
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Angel awite.” Ini kalimat sederhana bahasa lokal Dermayu (Indramayu) yang artinya, “sejak awal sulit untuk dicari jalan keluarnya”, ketika menemukan masalah, apapun itu, dimanapun, dan dengan siapapun. Ketika dua orang berseteru, entah karena ada persoalan di masa lalu yang belum diselesaikan, belum dibicarakan, hingga yang ada hanya prasangka. Sehingga terus menerus satu sama lain merasa paling.

Yakni merasa lebih unggul dari yang lain. Merasa paling benar, dan yang lain salah. Bentuk penghakiman seperti ini lumrah ditemui, ketika ya balik ke tadi, belum selesai dengan sesuatu, belum berdamai dengan kenyataan, dan tak mampu menerima perbedaan. Stop berhenti di sini. Introspeksi diri.

Berangkat dari pemahaman di atas, saya mau ambil contoh sederhana persaingan antara ibu rumah tangga dan ibu bekerja, yang satu merasa paling baik cinta dan pengabdiannya pada keluarga. Aku termasuk mazhab atau pendukung “perempuan harus bekerja dan punya penghasilan sendiri”, tapi tetap menghargai pilihan perempuan yang di rumah saja dengan alasan agar bisa fokus dengan keluarga.

Sebenarnya ini adalah persoalan yang pernah dihadapi oleh seorang teman ketika ia sempat dan hampir mengalami kegagalan dalam rumah tangga, karena ia terlalu bersemangat dalam meniti karier dalam pekerjaan. Ibarat pepatah, bahtera rumah tangganya bagai berada di ujung tanduk, karena perilaku yang buruk, tak mampu mengelola konflik dan keuangan keluarga dengan baik, sehingga keharmonisan keluarga dipertaruhkan.

Lalu ketika ia memutuskan untuk di rumah saja, hanya mengurus anak-anak dan suami. Tiba-tiba ia bicara di setiap postingan media sosialnya bahwa perempuan baik-baik  itu di rumah saja, berbakti pada suami. Bahwa istri salehah adalah kunci surga. Bahwa ketika perempuan di rumah saja, maka takkan pernah ada persoalan dalam keluarga.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Sebagai teman baik, saya tak menyalahkan keputusannya itu meninggalkan karier yang dengan susah payah ia bangun dari nol. Tetapi tak lantas juga menjustifikasi bahwa pilihannya adalah yang paling benar, sementara yang bersebrangan dengan dia salah. Hei, hidup tidak hitam putih. Tidak hanya ada salah dan benar, hanya kamu saja yang belum mampu berdamai dengan kenyataan, seperti yang saya singgung di awal tulisan.

Komunikasi yang buruk, membuat ekonomi keluarga akan semakin terpuruk. Jika sejak awal berkomitmen membangun rumah tangga, maka semua hal harus diperbincangkan dengan pasangan di awal sebelum masuk gerbang pernikahan. Apa yang istri inginkan, apa yang suami mau, itu harus dipertemukan agar tidak ada yang merasa dirugikan. Dengan catatan, masing-masing tetap mampu mengembangkan sayap-sayap potensi diri.

Saya pernah menuliskan alasan kenapa perempuan harus bekerja dan punya penghasilan sendiri. Tak kurang teladan dari para istri Nabi, Sayyidah Khadijah Al Kubro adalah seorang pebisnis handal hingga mampu mendukung dakwah Nabi. Putri Nabi Syuaib ‘Alaihissalam, yang diperistri Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah penggembala hewan sembelihan yang ahli pada masanya. Ini ibrah, biar saya nggak dikira ngasal nulis.

Nah kembali pada mengapa penting? Pertama, kita tidak pernah tahu kehidupan di masa depan. Sepanjang apa jodoh akan menautkan janji suci pernikahan suami istri. Bisa jadi karena kematian, salah satu berpaling atau bercerai. Siapkah kita sebagai perempuan hidup sendiri, dan menopang kebutuhan hidup sendiri? Jika sudah ada anak, sanggupkah membiayai anak-anak, memberi fasilitas pendidikan dan kesehatan yang berkualitas?

Kedua, ketika suami mengalami pailit usaha, kena PHK, sakit parah, maka istri yang harus mengambil peran sebagai kepala keluarga itu untuk bekerja, agar roda kehidupan rumah tangga terus mampu berputar. Pun setidaknya ketika kondisi suami baik-baik saja, perempuan yang bekerja dan punya penghasilan ia bisa membantu keuangan keluarga ketika dalam situasi darurat.

Ketiga, bagi perempuan bekerja tak melulu soal menambah penghasilan. Tapi ada nilai-nilai sosial yang ia emban. Ada tanggung jawab sosial pada kehidupan, pengakuan, eksistensi dan aktualisasi diri, memaksimalkan potensi diri, untuk sebesar-besar manfaat bagi sesama.

Ada hidup yang harus diperjuangkan sungguh-sungguh, sehingga perempuan punya bargainning position/posisi tawar dengan sekitarnya, agar perempuan tidak menjadi makhluk yang inferior, dan rentan dijadikan sebagai korban kekerasan berbasis gender. Ingat, bekerja bagi perempuan tak harus meninggalkan rumah. Menambah penghasilan bisa dengan cara apa saja.

Ada lagi yang lebih keren, yaitu 4B. Meminjam istilah dari Bu Nyai Hanifah Muyasarah, pengasuh ponpes Al Ihya Kesugihan Cilacap dan Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, bahwa perempuan itu harus belajar, bekerja, berorganisasi dan berkeluarga. Tapi beliau masih mengecualikan pilihan berkeluarga, untuk memberi ruang bagi perempuan yang memilih melajang, atau tidak berkeluarga dengan alasan tertentu. Ini kalau dijelaskan bakal lebih panjang, semoga bisa dituliskan sendiri dalam bagian terpisah.

Jadi apapun pilihan hidup perempuan, mau bekerja dengan tetap menyandang status sebagai ibu rumah tangga, atau pure hanya di rumah saja, tak pernah lagi merasa paling atau ada seteru diantaranya, dan semoga keinginan untuk terus belajar dan menjadi perempuan mandiri itu tak pernah mati. Sebab satu sama lain antar suami istri itu tidak merasa paling, tapi saling. Karena sebaik baik manusia, suami maupun istri, adalah yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. []

 

Tags: Ibu Bekerjaibu rumah tanggaistrikeluargaKesalinganperempuanperkawinanRelasisuami
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID