Mubadalah.id – Dalam kitab A’yan al-Ashr wa A’wan an-Nashr karya Sholahuddin Ash-Shafady (w. 764 H/1363 M) ada kisah menarik tentang ulama perempuan bernama Fathimah bint Abbas bin Abu al-Fath (w. 714 H/1314 M). Dia kelahiran Baghdad Irak, belajar dari para ulama di Damaskus Syria, lalu menetap di Cairo Mesir sebagai ulama fiqh terpandang yang dikunjungi banyak orang.
Keilmuan Fathimah ini terdengar ke seantero negeri. Banyak orang berguru padanya, laki-laki dan perempuan. Dia satu masa dengan Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M), seorang ulama terkenal penganut Mazhab Hanbali. Banyak pihak, termasuk Ash-Shafady sendiri, membanding-bandingkan keilmuan dan populeratisnya yang mirip dengan Ibn Taimiyah. Sayangnya, Fathimah tidak menulis kitab-kitab sebagaimana Ibn Taimiyah.
Ulama perempuan ini, jika berbicara jelas, meyakinkan, dan penuh pengetahuan. Ia dipercaya untuk berceramah secara tetap di suatu masjid di Cairo dengan menaiki mimbarnya. Kata ash-Shafadi: “Fathimah adalah seorang syaikhah, ahli fiqh, banyak ilmu, banyak ibadah, sufi, sering dipanggil sebagai Umm Zainab al-Baghdadiyah, juga seorang penceramah”.
Jika ia sudah naik mimbar, jama’ah perempuan akan berduyun-duyun datang. Mereka langsung melingkar tertunduk khusyuk mendengar, memahami dan menghayati, tidak sedikit yang menangis, terbawa nasihat-nasihat yang diberikan. Biasanya, mereka akan mudah berbuat baik setelah mendengar ceramah ulama perempuan ini.
Suatu saat ada dialog, kata ash-Shafadi, dengan seorang ulama bernama Shadruddin bin al-Wakil mengenai haid atau menstruasi. Sang ulama ini mengagumi keluasan ilmu Fathimah. Lalu Fathima berkata padanya: “Kamu hanya tahu dari ilmu saja, aku tahu dari ilmu dan juga mengalami”.
Kata ash-Shafadi, Ibn Taimiyah sendiri sangat mengagumi keluasan ilmu Fathimah bin Abbas ini. Begitupun dengan ketekunannya dalam beribadah dan beramal shalih. Namun, Ibn Taimiyah sempat menyatakan kurang suka terhadap kebiasaan Fathimah yang naik mimbar dan berceramah. “Entahlah, di hatiku ada perasaan (tidak suka) padanya, karena dia naik mimbar ini. Aku sebenarnya ingin melarangnya melakukan hal demikian”, kata Ibn Taimiyah.
Akhirnya, suatu malam Ibn Taimiyah bermimpi didatangi Nabi Muhammad Saw. Di dalam mimpi itu, Ibn Taimiyah lalu bertanya kepada Nabi Saw tentang Fathimah tersebut. “Fathimah adalah orang yang salih”, jawab Nabi Saw tegas.
Kisah ini bisa ditemukan di kitab A’yan al-‘Ashr, jilid 4, hal. 28 (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1998). Ibn Taimiyah seakan ditegur oleh Nabi Saw dalam mimpi, karena perasaan tidak sukanya tersebut. Padahal tugas berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dan yang lain, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an, adalah tugas bersama, laki-laki dan perempuan (QS. At-Taubah, 9: 71).
Nabi Muhammad Saw sendiri telah meminta semua umat, laki-laki maupun perempuan, agar: “Sampaikanlah dariku, walau satu ayat sekalipun” (Sahih Bukhari, no. 3499). Perintah Nabi Saw untuk belajar juga menyasar laki-laki dan perempuan (Sunan Ibn Majah, no. 229). Dengan demikian, berdakwah dan berceramah adalah tugas bersama laki-laki dan perempuan.
Dalam Ikrar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon ditegaskan, bahwa perempuan memiliki akal budi sebagaimana laki-laki, yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun atas nama apapun. Akal budi ini adalah anugerah dari Allah Swt.
Dengan akal budi ini, ulama perempuan, sebagaimana ulama laki-laki, bertanggung-jawab mendakwahkan Islam rahmatan lil ‘alamin dan melaksanakan misi kenabian untuk menghapus segala bentuk kezaliman sesama makhluk atas dasar apapun, termasuk agama, ras, bangsa, dan golongan, serta jenis kelamin. Untuk tanggung-jawab ini, ulama perempuan berhak menafsirkan teks-teks Islam, melahirkan dan menyebarkan pandangan-pandangan keagamaan yang releven.
Jika merujuk pada mimpi Ibn Taimiyah di atas, Insya Allah, Nabi Muhammad Saw merestui kerja-kerja dakwah ulama perempuan. Seperti mereka yang tergabung dalam jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Semoga. Amiin. []