Mubadalah.id – Teman perempuan saya seorang dosen di perguruan tinggi swasta tiba-tiba menghubungi saya via WA, ia bercerita ketidaknyamanan yang dirasakan teman-teman dan mahasiswanya yang satu gang dengan asrama tempat ia tinggal. Pasalnya ada seorang lelaki bermotor yang sering menyapa mahasiswi yang kebetulan berjalan sendirian, mengajak ngobrol dan sesekali menawari tumpangan bonceng gratis dengan sepedanya.
Beberapa waktu lalu ada seorang mahasiswi baru (MaBa) berhenti kuliah dan boyong dari asrama tanpa alasan jelas, konon menurut cerita teman sepantarannya dia dibonceng oleh lelaki bersepeda dan diturunkan di tempat sepi, dan di sanalah ia mendapat perilaku kekerasan seksual. Setelah beberapa bulan tidak terlihat batang hidung lelaki tersebut beraksi lagi dan seluruh mahasiswi di gang itu merasa resah dan tidak nyaman.
Teman saya dianggap senior oleh adik-adik tingkatannya, dia dosen yang secara jabatan memiliki relasi cukup luas mengadukannya pada “orang-orang atas” tapi dia masih bingung bagaimana mengatasi keresahan mahasiswi-mahasiswinya itu. Hemat saya di sinilah Peraturan Menteri Pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (Permendikbud Ristek) beraksi melebarkan sayapnya melindungi Perguruan Tinggi (PT) di akar rumput.
Setelah Permendikbud No 30 tahun 2021 disahkan, saatnya seluruh pihak bergotong royong mengaplikasikkannya di perguruan tinggi masing-masing. Bukan hanya di kawasan PT, melainkan di tempat mahasiswanya tinggal. Apakah ini tanggung jawab pihak PT? tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT, orang tua juga harus memastikan keamanan anak-anaknya, dan mahasiswanya sendiri juga menjaga keamanan dan kenyamanan diri sendiri. Inilah yang disebut Piramida keberhasilan dalam dunia pendidikan.
Di pesantren saya, Kiai Azaim Ibrahimy pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah seringkali mengingatkan perihal Piramida keberhasilan seorang santri; kiai, wali dan santri. Kiai bertugas mentransmisi keilmuan dan etika mulia dengan sekian peraturan pesantren, orang tua/wali mendukung secara penuh seluruh kebijakan pesantren selama kebijakan tersebut melahirkan kebaikan/kemaslahatan umum, dan santri berusaha belajar optimal mewujudkan cita-citanya dengan dukungan kiai dan orang tuanya.
Kembali lagi pada Permendikbud, diantara langkah yang dinyatakan oleh Mendikbud Ristek Nadiem Makarim adalah membentuk satgas di setiap perguruan tinggi untuk mengawal Permendikbud ini berjalan sesuai yang diharapkan; melindungi dan menjadi payung hukum bagi perilaku kekerasan, dan pelecehan seksual di Perguruan Tinggi, dari hukuman untuk pelaku dan pemulihan untuk korban. Tentunya dengan pengawas yang mendukung penuh pada peraturan ini.
Kebingungan teman saya tadi menunjukkan belum tergeraknya PT untuk membentuk satgas dan minimnya tempat pengaduan bagi kekerasan dan pelecehan seksual. Maka pantas saja jika banyak kasus KS tidak segera melapor, selain karena takut dituduh balik (sebagai pencemaran nama baik dan semacamnya) juga bingung mau melapor ke siapa. Seperti cerita tadi, mau melapor tapi tidak punya bukti fisik, hanya ada keresahan, kecemasan mahasiswi setiap kali mau keluar asrama melakukan aktivitass.
Akhirnya, saya catat beberapa pesan untuk tiga pihak di ujung Piramida keberhasilan belajar siswa-mahasiswa:
Pertama, Ciptakan ruang aman bagi orang lain. Ini adalah kerja kolektif bukan pihak tertentu saja. Paling sederhana adalah tidak melihat dengan pandangan yang mengganggu, seperti memperhatikan seseorang dari ujung kaki sampai ujung rambut, ditambah dengan mengerutkan kening karena ada hal berbeda dari dirinya. Ingat! Kamu bukan juri yang berhak menilai orang lain. Atau seperti cat calling yang –sungguh aku merasakannya sendiri- membuat tidak nyaman.
Kedua, Bangun kepercayaan diri bersikap tegas, lebih-lebih pada orang yang tidak dikenal. Atau sudah dikenal namun membuatmu tidak nyaman, jangan ragu menolak, sadari bahwa tubuhmu adalah milikmu secara utuh.
Ketiga, jika ada gerak seseorang yang menunjukkan gelagat tidak baik, usahakan tidak jalan sendirian melewatinya. Ingat pesan Bang Napi “Kejahatan bukan hanya karena direncanakan tapi karena ada kesempatan”
Keempat, Guru dan orang tua, jangan ragu memperkenalkan edukasi seksual, kesehatan reproduksi dan etika berelasi sejak dini. Hal ini membantu anak sadar lebih awal bahwa tubuh seseorang berharga dan harus dijaga dengan sehormat-hormatnya.
Kelima, Guru/dosen memastikan keamanan anak didiknya. Permendikbud ini hanya sebuah teks yang akan bermanfaat jika dijalankan oleh semua pihak. Tugas pak menteri sudah selesai, tugas para dosen dan semua pendidik baru dimulai, membentuk satgas dan gerakan-gerakan perlindungan sesuai dengan kebutuhan lembaga masing-masing. []