• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Belajar Toleransi dalam Shalat Berjamaah

Jemaah yang membawa anak untuk ikut serta dalam shalat jemaah membawa misi tarbiyah kepada anak. Hal ini menjadi hak yang dilegitimasi oleh beberapa riwayat hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah beberapa kali menjalankan ibadah di masjid bersama dengan cucunya

Yulinar Aini Rahmah Yulinar Aini Rahmah
18/10/2022
in Pernak-pernik
0
Belajar Toleransi dalam Shalat Berjamaah

Belajar Toleransi dalam Shalat Berjamaah

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Shalat berjamaah memiliki banyak filosofi. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari shalat berjamaah ialah belajar toleransi. Berikut penjelasan terkait belajar toleransi dalam shalat berjamaah. Toleransi secara luas tidak terbatas pada toleransi antar agama, namun juga toleransi antar budaya, suku, ras dan lain sebagainya.

Lebih dalam lagi, banyak yang tidak menyadari pentingnya toleransi intra agama. Dalam ritual ibadah shalat jemaah di masjid, toleransi intra-agama dapat kita temui dan terapkan. Pada dasarnya, masjid dihuni oleh sekelompok komunitas homogen yaitu umat Islam.

Sewajarnya, komunitas homogen tidak memunculkan banyak perbedaan antar anggotanya. Namun hal itu tidak sepenuhnya benar. Sebuah komunitas menyatukan banyak anggota yang semuanya datang dari berbagai macam latar belakang, karena anggota disatukan dalam kehomogenitasan tertentu, inilah yang justru akan semakin menampakkan perbedan-perbedaan kecil antar anggotanya.

Jika kita renungkan, tidak sedikit perbedaan-perbedaan coba disatukan dalam prosesi shalat berjemaah di masjid. Masjid disetting menjadi tempat terbuka bagi siapapun umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah shalat. Karena terbuka bagi siapapun, maka semua umat Islam dari golongan atau madzhab apapun mendapat kesempatan yang sama untuk mengakses masjid manapun untuk menjalankan ibadah.

Perbedaan madzhab sejatinya akan berdampak pada perbedaan cara beribadah satu jemaah dengan jemaah yang lain. Satu contoh diantaranya adalah penggunaan doa Qunut atau tidak. Dalam beberapa kasus, perbedaan ini dapat menimbulkan perpecahan jika tidak disikapi dengan sikap toleransi.

Baca Juga:

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban

Mereka yang kekeh doa Qunut adalah sunnah maqshudah , tidak akan mau bermakmum dengan imam yang tidak berdoa Qunut. Jika pemahaman ini dibiarkan meliputi pemahaman masyarakat, maka ibadah shalat jemaah di masjid akan sulit didirikan.

Sisi toleransi didapat melalui kesalingan antara imam dan makmum demi tetap terciptanya keberlangsungan shalat jemaah. Apresiasi setinggi-tingginya pada imam-imam yang beraliran tidak mewajibkan Qunut, namun berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan pada makmumnya yang membaca doa Qunut.

Dalam hal ini, imam telah menjalankan toleransi aktif terhadap makmumnya. Sedangkan makmum menjalankan toleransi pasif dengan cara tetap menyelesaikan shalat jemaah dengan imam tersebut tanpa perlu melakukan mufaraqah dalam shalat.

Sedangkan dalam kacamata fiqih, hal ini tentu menjadi permasalahan yang tidak mudah. Makmum (dengan madzhab Qunut merupakan sunnah maqsudah dalam shalat) yang mengetahui imamnya tidak menggunakan Qunut maka sunnah untuk melakukan mufaraqah. Hal ini sebagaimana dalam Kitab Al-Majmu karya Imam Nawawi yang menyebutkan sebagaimana berikut:

وَأَلْحَقُوا بِهِ مَا إذَا تَرَكَ الإِمَامُ سُنَّةً مَقْصُودَةً كَالتَّشَهُّدِ الأَوَّلِ وَالْقُنُوتِ

“Para ulama menambahkan bagian dari uzur yang membolehkan mufaraqah, yaitu jika imam meninggalkan sunnah maqshudah, seperti tasyahhud awal dan Qunut”.

Pendapat Imam Al Ghazali

Lalu, dalam perspektif yang lain, Imam Al-Ghazali dalam hal ini membolehkan makmum tetap mengikuti imam dan shalat makmum tetap terhitung sebagai shalat yang sah. Keterangan ini termaktub dalam kitab Al-Wajiz karya Imam Ghazali sebagaimana berikut:

وَإِذَا جَوَّزْنَا اقْتِدَاءَ اَحَدِهِمَا بِالْآخَرِفَلَوْ صَلَّي الشَّافِعِيُّ الصُّبْحَ خَلْفَ حَنَفِيٍّ وَمَكَثَ الْحَنَفِيُّ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَلِيلًا وَاَمْكَنَهُ اَنْ يَقْنُتَ فِيهِ فَعَلَ وَاِلَّا تَابَعَهُ

Artinya, “Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seadainya penganut madzhab Syafi’i bermakmum di belakang penganut madzhab Hanafi dan ia (penganut madzhab Hanafi) setelah ruku‘ berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam,” .

Selain contoh di atas, ada lagi contoh toleransi yang bisa didapatkan dari prosesi shalat berjemaah di masjid salah satunya adalah toleransi terhadap jemaah yang membawa anak kecil ke masjid. Dalam hal ini ada dua kepentingan yang sama-sama mengandung hak antara jemaah satu dengan jemaah yang lainnya.

Jemaah yang membawa anak untuk ikut serta dalam shalat jemaah membawa misi tarbiyah kepada anak. Hal ini menjadi hak yang dilegitimasi oleh beberapa riwayat hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah beberapa kali menjalankan ibadah di masjid bersama dengan cucunya. Dengan demikian, membawa anak-anak ke masjid merupakan hak bagi setiap jemaah masjid.

Namun lagi-lagi, kebebasan seseorang itu terbatasi oleh kebebasan yang lainnya. Bagi jemaah yang lain, mereka berhak memperoleh ketenangan dalam menjalankan ibadah di masjid. Adanya anak kecil di masjid beberapa kali dikeluhkan karena tidak jarang menimbulkan kegaduhan.

Disinilah perlunya sebuah sikap toleransi bagi jemaah yang tidak membawa anak kecil. Dengan membiarkan anak jemaah lain dengan segala konsekuensinya turut serta menjadi bagian dalam prosesi shalat jemaah di masjid, hal ini merupakan toleransi pasif yang tidak semua bisa melakukakannya.

Pada akhirnya, toleransi membutuhkan kesalingan antar dua orang yang berbeda untuk saling memaklumi dan merelakan satu sama lain. Jika dua yang berbeda tersebut saling menyadari batasan hak dirinya yang terbatasi hak orang lain, maka keharmonisan akan terwujud.

Demikian penjelasan terkait belajar toleransi dalam shalat berjamaah. Semoga penjelasan ini bermanfaat. []

Tags: islamPerdamaianshalattoleransi
Yulinar Aini Rahmah

Yulinar Aini Rahmah

Terkait Posts

Wuquf Arafah

Makna Wuquf di Arafah

5 Juni 2025
Aurat

Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

5 Juni 2025
Batas Aurat

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Fikih Ramah Difabel

Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

5 Juni 2025
Batas Aurat Perempuan

Dalil Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

4 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual

    Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID