Mubadalah.id – Benarkah hamil adalah kodrat perempuan ? Sehingga, jika ada perempuan yang menikah lalu kemudian tidak hamil, nilainya sebagai perempuan menjadi tidak sempurna?
Untuk membahas itu, saya ingin memulai dengan cerita pribadi. Kemarin siang saya kaget mendengar kabar perceraian rumah tangga teman saya. Dan yang lebih memilukan lagi penyebab perceraian tersebut adalah karena di usia sembilan tahun pernikahan. Istrinya belum juga mengandung dan memiliki anak.
Sebelum berkuliah di Cirebon, saya sempat bertemu dan mengobrol beberapa kali dengan istri teman saya itu. Demi memenuhi pandangan kalau hamil adalah kodrat perempuan yang menikah, ia bercerita bahwa ia dan suaminya sudah melakukan banyak cara mendapatkan keturunan. Ikhtiar tersebut, sudah ia lakukan mulai dari berkonsultasi, berobat dan kontrol ke dokter di berbagai Rumah Sakit. Ia juga sempat bolak balik meminta doa dari kiai, ahli hikmah dan ziarah ke maqbarah para alim ulama di Indonesia.
Usaha untuk Hamil
Tidak cukup sampai itu, ia juga mulai meminum banyak ramuan jamu, berolahraga untuk menurunkan berat badan. Selain itu, ia juga mengkonsumsi banyak makanan yang menurut keyakinan masyarakat sekitar dapat menambah kesuburan. Ini ia lakukan demi menjawab pandangan kalau hamil adalah kodrat perempuan. Bahkan di tahun ketiga pernikahan, ia memutuskan untuk “mengadopsi” bayi adiknya. Ia melakukan karena menurut orang tua jaman dulu, jika mengadopsi bayi orang lain, maka akan bisa memancing perempuan untuk mendapatkan keturunan.
Tetapi dari banyak usaha yang sudah ia lakukan tersebut, Allah belum juga memberinya amanah untuk mengandung dan menjadi ibu sampai pada sembilan tahun pernikahan. Akhirnya, suami teman saya menyerah dan meminta ijin untuk berpoligami dengan perempuan yang sudah mempunyai anak dari pernikahan sebelumnya. Jelas saja istri teman saya menolak permintaan tersebut, dan kemudian mereka bercerai.
Mendengar kabar tersebut, saya ikut merasakan pilu yang luar biasa. Bagaimana tidak, sebagai perempuan ia sudah berjuang melakukan banyak cara supaya bisa mengandung, dan memberikan keturunan untuk suaminya. Mungkin saja dalam proses menjawab pandangan kalau hamil adalah kodrat perempuan, ia merasa lelah, capek, marah. Bahkan mungkin ia masih mengalami stigma negatif dari orang-orang di lingkungan sekitar.
Belum lagi ketika ia ikut kumpul keluarga di hari raya, berkunjung ke rumah teman dan ikut menghadiri pesta pernikahan, ia pasti sering sekali diterpa pertanyaan “Kapan punya anak?” Sebuah pertanyaan menyakitkan, yang ia sendiri tidak mengetahui jawabannya.
Kemudian setelah perjuangan sembilan tahun ini, balasan yang ia dapatkan dari suami bukanlah empati dan rangkulan, tetapi justru malah menghadirkan perempuan lain di rumah tangganya, lengkap dengan seorang anak yang jelas-jelas menjadi masalah utama mereka berdua.
Bercerai daripada Suami Poligami
Sejujurnya aku bahagia, teman perempuanku ini memilih untuk bercerai daripada bertahan dengan laki-laki yang meminta dia untuk siap mempunyai madu. Walaupun pilihan itu juga pasti sangat menyakitkan dan tidak mudah.
Ah andai saja aku sedang berada didekatnya saat ini, ingin sekali aku memeluknya dan berbisik padanya bahwa, “Menjadi ibu atau tidak, kamu adalah perempuan sempurna dan istimewa. Mempunyai anak atau tidak, kamu tetap menjadi manusia yang bermakna, dan “Perempuan adalah manusia yang utuh, dengan atau tanpa seorang anak.”
Di sisi lain, saya juga tidak habis pikir sama laki-laki model begini. Dalam kehidupan sehari-hari ia senantiasa memposting berbagai dalil keagamaan, terutama soal bagaimana laki-laki itu seorang pemimpin di dalam keluarga. Namun dalam keseharian demi membela pandangan kalau hamil adalah kodrat perempuan, ia sampai tega melukai dan memperlakukan pasangannya dengan tidak baik.
Bukankah salah satu tugas seorang pemimpin itu adalah memberikan kenyamanan, kebahagiaan dan kedamaian bagi rakyatnya. Itu yang membuat saya yakin bahwa kepemimpinan itu tidak atas dasar jenis kelamin, tapi oleh akhlakul karimah.
Oke, kembali pada persoalan kehamilan. Hal penting yang perlu kita ingat bersama, baik oleh laki-laki maupun perempuan adalah, tugas manusia di dunia selain beribadah ialah berdoa dan beriktiar. Soal tercapai atau tidak setiap harapan dan doa tersebut, hanya Allah yang punya kuasa. Termasuk dalam persoalan mempunyai keturunan. Manusia boleh saja melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan seorang anak, namun tetap saja hasil akhir hanya Allah yang menentukan.
Di samping itu, kita juga bisa belajar dari pernyataan Kak Kalis Mardiasih dalam Channel Youtube-nya yang bernama Kelas Kalis. Ia mengatakan bahwa sudah saatnya kita memutus tradisi yang menganggap bahwa perempuan itu satu paket dengan pernikahan, kehamilan, melahirkan dan menjadi ibu. Karena tidak semua perempuan yang kodratnya mempunyai vagina, ditakdirkan untuk menikah dan mempunyai anak.
Pandangan kalau hamil adalah kodrat perempuan tidak sepenuhnya benar. Dalam kehamilan ada unsur ikhtiar dan memilih yang dilakukan oleh perempuan. Dengan begitu, haram hukumnya merendahkan dan memandang perempuan yang tidak menikah atau perempuan yang tidak hamil dengan pandangan kalau agamanya tidak sempurna dan tidak utuh.
Sebagaimana nasehat dari Buya Husein bahwa manusia yang merendahkan seseorang, karena ia terlahir sebagai perempuan maka sama saja dengan merendahkan penciptanya.
Lalu yang terakhir, saya juga ingin menyampaikan bahwa tujuan pernikahan itu bukan hanya untuk hamil dan memiliki keturunan. Tetapi pernikahan sebaiknya diniatkan untuk membangun relasi yang saling bekerjasama dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia serta membahagiakan, Sakinah, Mawadah, wa Rahmah wa Mubadalah. []