Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa hubungan suami dan istri harus dibangun dengan cara muasyarah bi al maruf, bergaul dan bekerja sama dengan baik dalam relasi kesalingan.
Maka suami yang shalih, kata Buya Husein adalah manakala dia dapat menyenangkan istrinya, seperti istri menyenangkannya, suami yang menjaganya sebagaimana istri menjaganya. (Baca juga: Penjelasan Istri Shalihah Menurut Buya Husein (6))
Suami yang membantunya manakala istri membutuhkan bantuannya, suami yang sabar atas kekurangan istrinya.
Buya Husein mengutip pandangan yang menarik sekali dari Ibnu Abbas. Dia mengatakan :
احب ان اتزين لنساء ى كما احب ان تتزين لى
Artinya : “Aku ingin tampil menarik untuk isteriku sebagaimana aku senang jika dia tampil menarik untukku.”
Lalu ada sebuah puisi indah yang disampaikan Thahir al-Haddad :
Perempuan adalah separoh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan.
Bila kita merendahkannya dan membiarkannya menjadi hina dina, maka itu adalah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri kita sendiri dan kita rela dengan kehinadinaan kita.
Jadi bila kita mencintai dan menghormati dia serta bekerja untuk menyempurnakan eksistensinya, maka sesungguhnya itu adalah bentuk cinta, penghormatan dan usaha kita menyempurnakan eksistensi kita sendiri.
Beberapa hari sebelum wafatnya, Nabi Saw menyempatkan diri untuk menyampaikan wasiat kepada orang-orang (para suami).
اِتَّقُوا اللهَ فِى النِّسَآء فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ
Artinya : “Bertakwalah kepada Allah dalam hal berhubungan istrimu, karena kamu telah mengambilnya (sebagai istri) atas dasar kepercayaan Allah kepadamu, dan kalian halalkan berhubungan intim dengannya atas Nama Allah.”
Dalam hadits lain disebutkan :
استَوصوا بالنِّساءِ خيرًا فإنَّهنَّ عندَكُم عَوانٍ ليسَ تملِكونَ منهنَّ شيئًا غيرَ ذلِكَ
Artinya : “Aku pesan kepada kalian hendaklah kalian memperlakukan istri-istri kalian dengan baik. Karena mereka (dalam sistem sosial kalian) dipandang bagaikan tawanan. Sesungguhnya kalian (para suami), tidak berhak memperlakukan mereka kecuali dengan baik.” (Rul)