Mubadalah.id – Mungkin kita pernah membaca buku atau tulisan yang mendeskripsikan tentang istri ideal yang rumusannya demikian menyudutkan istri?
Sebagai contoh, rincian tentang batas ketaatan istri kepada suami.
Disebutkan bahwa istri ideal adalah istri yang selalu taat pada suami meskipun suaminya dzalim seperti selalu siap melayani suami berhubungan seks kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apapun.
Istri ideal adalah istri yang diam tak menyahut meski suami menghina dan berbuat sumpah serapah, tidak berhubungan dengan keluarga dan sahabatnya yang tidak disukai suami, dan sebagainya.
Rumusan ini, ironisnya, menyebutkannya sebagai penjabaran surat an-Nisa ayat 34:
فا لصا لحا ت قا نتات
Artinya : “… Dan istri shalihah adalah mereka taat (kepada Allah dan suami).”
Idealkah rumusan ini? Maka salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjawab tentu saja tidak!.
Suami Sentries
Sebab pemahaman di atas, kata Nyai Badriyah adalah pemahaman yang “suami sentries”, tidak memahami makna dan konteks ayat, menafikan ayat dan hadis yang lain serta mengabaikan prinsip ma’ruf dan kemaslahatan bersama.
Sang perumus, Nyai Badriyah mengungkapkan, entah sengaja atau tidak telah menafikan ayat yang memerintahkan setiap suami untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang patut.
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 19:
وعا شرو هن بالمعروف
Artinya : “dan perlakukanlah mereka secara makruf.”
Dalam hadis shahih riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari Nabi, juga menyebutkan:
اْكمل المؤمنين ايمانا اْحسنهم خلق وخيا ركم خيا ركم لنساءهم خلق
Artinya : “Orang-orang mukimin paling sempurna keimananya adalah mereka yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik akhlaknya terhadap isterinya.”
Dari sini, menurut Nyai Badriyah, dapat di tangkap kesan bahwa sang perumus juga tidak memikirkan bahwa dampak dari rumusannya adalah penderitaan istri yang dengan sendirinya mengakibatkan sulit tercapainya tujuan perkawinan itu sendiri.
Bagaimana mungkin sebuah keluarga bisa menjadi ideal jika di dalamnya ada pihak yang menderita dan merasa rugi?
Maka, rumusan “ideal” itu pun pada praktiknya menjadi tidak ideal karena cita-cita keluarga “sakinah, mawadah wa rahmah” yang di dalamnya semua pihak merasa terlindungi dan terayomi, damai, penuh cinta, dan kasih sayang dalam sebuah hubungan yang harmonis lahir dan batin, tidak tercapai. (Rul)