Mubadalah.id – Jika merujuk prinsip mu’asyarah bil ma’ruf dalam perspektif mubadalah, maka suami dan istri adalah etika puncak dan ruh bagi seluruh ajaran dan aturan Islam dalam isu pernikahan, keluarga, dan rumah tangga.
Suami istri juga menjadi bentuk aktual dari konsep kemaslahatan dalam teori hukum Islam untuk isu keluarga.
Perspektif kesalingan dalam prinsip mu’asyarah bil ma’ruf, dengan memastikan perempuan dan laki-laki memperoleh kebaikan. Juga harus dijadikan indikator dari pencapaian “lima tujuan hukum Islam” (maqashid al-syariah al-khamsah) dalam isu rumah tangga.
Konsep perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), misalnya, harus memastikan pemenuhan hak hidup dan peningkatan kualitas hidup laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
Begitu pun empat konsep maqashid yang lain, perlindungan agama dan ibadah (hifzh al-din), akal pemikiran dan pengetahuan (hifzh al-‘aql), keturunan dan hak-hak reproduksi (hifzh al-nasl).
Serta harta dan kepemilikan (hifzh al-mal). Harus kita pastikan mencakup perempuan dan laki-laki sebagai implementasi dari perspektif mubadalah dalam prinsip mu’asyarah bil ma’ruf.
Menikah dan berkeluarga seyogianya tidak menjadi penghambat bagi siapa pun, terutama perempuan, untuk mengembangkan potensinya masing-masing sebagai manusia secara maksimal.
Sebaliknya, menikah adalah persatuan dua insan, di mana satu sama lain saling melengkapi, menopang, dan menolong. Serta untuk terus menerus meningkatkan kualitas hidup kedua belah pihak, hususnya mengenai lima prinsip dasar tersebut.
Karena itu, sejak awal, masing-masing untuk meluruskan niat dan tujuannya dengan baik. Lalu melaksanakannya bersama dengan komitmen yang kuat, agar pernikahan dapat menghadirkan kebaikan yang paripurna, seperti yang diharapkan al-Qur’an.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.