Mubadalah.id – Kita sering mendengar istilah “konco wingking” dengan makna yang diskriminatif terhadap perempuan. Jika kita meyakini bahwa perempuan adalah manusia utuh dan subjek penuh kehidupan, kita harus meninggalkan istilah diskriminatif ini. Karena semua perempuan, sebagai manusia utuh, juga memiliki potensi spiritual, akal budi, dan peran-peran sosial. Di samping, juga pasti potensi ketubuhan dengan segala laku fisikalnya.
Jika kita tetap menggunakan istilah “konco wingking” ini, kita harus memaknainya ulang secara mubadalah. Karena keimanan kita pada kemanusiaan perempuan adalah niscaya. Di sisi lain, istilah ini juga terbuka pada pemaknaan ulang, baik secara bahasa, kultural, maupun nilai-nilai agama. Sebagai subjek penuh kehidupan, perempuan berhak atas makna-makna baik dari sebuah istilah, termasuk istilah “konco wingking” ini.
Makna Awal
Istilah “konco wingking” berasal dari bahasa Jawa dan secara harfiah berarti “teman di belakang” atau “teman pendamping”. Dalam konteks budaya Jawa, istilah ini biasanya kita gunakan untuk merujuk pada istri atau perempuan dalam hubungan pernikahan, dengan konotasi bahwa posisinya adalah sebagai pendukung atau pendamping suami.
Dalam hubungan pernikahan, tentu saja penting seorang perempuan menjadi pendamping suaminya. Menjadi teman di belakang, artinya di dalam kehidupan rumah tangga, yang bisa menemani, menghibur, mengobrol, dan menguatkannya ketika lemah, serta menolongnya ketika membutuhkan.
Makna ini sesungguhnya tidak masalah jika hanya menjadi salah satu peran saja dalam kehidupan seorang perempuan yang menjadi istri seorang laki-laki. Yang menjadi masalah adalah ketika “konco wingking” ini menjadi satu-satunya peran dalam kehidupannya. Lalu, penilaian baik dan buruk perempuan, satu-satunya, dari perannya sebagai “konco wingking” ini. Perempuan tidak lagi menjadi manusia utuh dengan akal budi, potensi spiritual, dan peran-peran sosialnya.
Pada saat yang sama, perempuan tidak menjadi subjek penuh kehidupan, yang dapat memperoleh manfaat dari segala kebaikan hidup ini. Jika pernikahan adalah baik bagi kehidupan, maka perempuan juga harus memperoleh kebaikan tersebut dari suaminya. Sehingga, konsep “konco wingking” juga harus menjadi peran laki-laki bagi perempuan yang menjadi istrinya.
Makna Mubadalah
Dalam perspektif Mubadalah yang menekankan pada kesetaraan dan saling menghargai, istilah “konco wingking” dapat didefinisikan ulang. Pemaknaan ulang juga didasarkan pada nilai dasar di atas, bahwa laki-laki dan perempuan, sama-sama manusia utuh dan subjek penuh kehidupan.
Makna “konco wingking” tidak boleh lagi kita maknai dengan konotasi dengan menempatkan perempuan dalam posisi “di belakang” laki-laki. Dalam perspektif Mubadalah, “konco wingking” tidak lagi berarti perempuan yang berada di belakang, atau di rumah bersama suaminya, sebagai seseorang yang lebih rendah atau subordinat. Tetapi lebih kepada peran perempuan sebagai mitra yang saling mendukung dan bekerja sama dalam kehidupan berumah tangga.
Lebih dari itu, “konco wingking” dalam perspektif Mubadalah dapat kita definisikan sebagai hubungan yang lebih luas antara perempuan dan laki-laki yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan, saling menghargai, dan kerjasama. Keduanya berperan sebagai mitra yang saling mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan dan aspirasi mereka, baik dalam konteks keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja.
Perempuan tidak hanya berperan sebagai pendamping, tetapi juga sebagai individu yang berdiri sendiri dengan hak, kewajiban, dan kontribusi yang sama pentingnya dengan laki-laki. “Konco wingking” berarti kemampuan menjadi teman dan mitra, baik dalam kehidupan “belakang”, yaitu rumah tangga, maupun “depan”. Yakni dunia publik dan sosial, dengan segala potensi perempuan sebagai manusia utuh, dengan akal pikiran dan budi spiritual.
Laki-laki juga Konco Wingking
Dalam perspektif Mubadalah, laki-laki juga bisa menjadi “konco wingking” perempuan. Istilah ini, kemudian, tidak lagi hanya merujuk pada perempuan sebagai pendamping laki-laki, melainkan bisa juga merujuk pada laki-laki sebagai pendamping perempuan. Pendamping dengan makna positif sebagai teman dan mitra kehidupan. Sebagaimana perempuan adalah mitra laki-laki, begitupun laki-laki bagi perempuan.
Karena, konsep “konco wingking” menekankan pada prinsip kesetaraan dan saling mendukung antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, dalam konteks ini, laki-laki dan perempuan berperan sebagai mitra yang saling mendukung dan bekerja sama dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu dalam keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja. Mereka saling mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan dan aspirasi mereka, dan masing-masing memiliki hak, kewajiban, dan kontribusi yang sama pentingnya.
Laki-laki adalah “konco wingking” bagi perempuan yang menjadi istrinya. Dengan menjadi teman yang menyenangkan dan membahagiakan, setra mitra kehidupan yang saling menolong, menguatkan, dan melengkapi. Baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun kehidupan publik sosial yang lebih luas. Peran “konco wingking” seperti ini sangat diperlukan, oleh perempuan dari laki-laki yang menjadi suaminya. Sebagaimana laki-laki memerlukan dari istrinya.
Dengan kata lain, dalam perspektif Mubadalah, baik laki-laki maupun perempuan bisa berperan sebagai “konco wingking” satu sama lain, menunjukkan hubungan yang saling mendukung, saling menghargai, dan berdasarkan kesetaraan. Dalam kehidupan domestik rumah tinggi maupun publik sosial lebih luas. []