Mubadalah.id – Mendiskusikan isu-isu Hukum Keluarga Islam pada setiap periode kehidupan sosial bukan saja penting, tetapi juga mendesak.
Dalam beberapa tahun belakangan isu-isu tersebut sedang dan terus diperbincangkan dengan cukup serius oleh para aktivis muslim di seluruh dunia.
Di bawah tema besar : “Musawah: A Global Movement for Eguality and Justice in the Muslim Family”, 13-18 Pebruari 2009 lalu tidak kurang dari 300 aktivis perempuan terkemuka dari 45 negara muslim berkumpul untuk saling bertukar pengalaman.
Kemudian mereka berdebat dan mencari solusi yang relevan dan kontekstual untuk mengakhiri berbagai bentuk diskriminasi yang dialami kaum perempuan di negaranya masing-masing terutama di dalam rumah tangga.
Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah melahirkan berbagai bentuk kekerasan, mereduksi dan mengabaikan hak-hak asasi manusia. Hak-hak Asasi Perempuan adalah Hak-hak Asasi Manusia.
Para aktivis perempuan sepakat bahwa realitas hari ini masih memperlihatkan bahwa perempuan masih diposisikan sebagai makhluk Tuhan kelas dua.
Kaum perempuan masih didiskriminasi dan dilemahkan dalam seluruh ruang hidupnya. Sistem hukum dan perundang-undangan Hukum keluarga di berbagai negara masih sarat dengan muatan-muatan (materi) yang belum melindungi dan memberikan hak-hak yang adil kepada perempuan.
Hukum Keluarga Islam di Indonesia masih Diskriminatif
Hukum Keluarga Islam dewasa ini populer sebagai Fiqh al-Ahwal al-Syakhshiyyah. Istilah ini tidak terkenal dalam kitab-kitab fiqh klasik. Secara literal berarti fiqh tentang tingkahlaku individu. Di dunia Barat, ia banyak yang mengenalnya dengan Personal Statute atau Personal Law. Di dalamnya memuat hukum-hukum pernikahan, perceraian, rujuk, waris dan hal-hal lain yang terkait.
Membaca warisan intelektual muslim dalam kitab-kitab fiqh klasik, tampak jelas bahwa perempuan dalam sistem hukum keluarga (al-Ahwal al-Syakhshiyyah) hanya sebagai makhluk subordinat (makhluk kelas dua) di bawah laki-laki.
Dalam sistem seperti ini semua keputusan final berkaitan dengan relasi laki-laki-perempuan baik dalam wilayah kerja domestik maupun publik/politik berada di tangan laki-laki. Sementara perempuan/ istri hanya sebagai objek kekuasaan laki-laki.
Relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 dan Kepres No. 1/1991 tentang KHI.
Keduanya merupakan produk kebijakan hukum negara. Proses penyusunannya harus berdasarkan pada hukum normatif Islam sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab Fiqh tersebut.
Tegasnya, UU No. 1/1974 dan KHI merupakan perwujudan/inplementasi hukum Islam versi Indonesia. Karena ia mengadopsi dari materi-materi fiqh Islam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam banyak sekali pasal, materi-materi hukumnya mengambil dari pandangan fiqh mazhab al Syafi’i. []