Mubadalah.id – “Cahaya itu selalu menyakitkan bagi orang yang biasa hidup dalam kegelapan.”
Dulu. Saat aku masih aktif di Komnas Perempuan sebagai anggota Komisioner, aku sering nongkrong di TIM bersama teman.
Suatu hari dalam sebuah obrolan santai sambil ngopi, aku bicara tentang kemandegan kebudayaan kaum muslimin. Bahkan bukan hanya mandeg dan berhenti, malahan ada kecenderungan kuat untuk mengajak kembali ke zaman berabad lampau di Arabia yang diyakini ideal. Ada proses reproduksi kebudayaan itu, edealisasi dan sakralisasi atasnya.
Teman itu bertanya: “agama itu sebenarnya untuk apa sih kang?”. Dan bagaimana seharusnya kita mengikuti Nabi”?.
Kemudian, aku menjawab sebisanya. Agama datang untuk membebaskan penderitaan manusia, menyerukan perdamaian, menjalin kasih, persaudaraan dan membawakan cahaya di tengah-tengah kegelapan dunia. Kegelapan itu adalah kebodohan, kezaliman dan penindasan. Cahaya itu ilmu pengetahuan, keadilan dan cinta. Al-Qur’an mengatakan tentang soal ini :
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Artinya : Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim : 1)
Penuh Kasih
Tuhan mengutus para nabi dan rasul untuk menawarkan dan menjelaskan tujuan-tujuan tersebut melalui beragam cara yang penuh kasih, santun, tak emosional, tak marah-marah.
Meski untuk melaksanakan tugas itu mereka menghadapi perlawanan keras dari komunitas audiennya. Tetapi mereka tak surut dan terus melangkah dengan tenang. Dan mereka berhasil. Cahaya Ketuhanan berpendar di seluruh bumi manusia.
Nah, sampai pada cerita ini, kawan itu menimpali sambil mengutip kata bijak dari seorang perempuan. Aku lupa namanya. Mercury?. (Merie Curie)
“Cahaya itu selalu menyakitkan bagi orang yang biasa hidup dalam kegelapan.”
Kemudian, aku terperangah. “Ini kata-kata yang indah sekali,” kataku.
Ini mengingatkan aku pada kisah Alegori Goa, karya Plato dalam “Republik”.
Kemudian, bagaimana cara kita mengikuti Nabi itu?. Oh iya. Aku bilang singkat : “Mengikuti Nabi adalah mengikuti Cita-cita nya. Ya cita-cita agama itu tadi.” []