• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Islam Datang untuk Mengubah Akhlak, Bukan Identitas Budaya

Umat Islam belum mampu sepenuhnya memahami, bagaimana perbedaan merupakan rahmat dari-Nya yang seharusnya kita syukuri

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
15/06/2023
in Publik
0
Islam, Akhlak

Islam, Akhlak

976
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Islam datang untuk mengubah akhlak, bukan identitas budaya. Selain itu, Islam juga hadir sebagai risalah terakhir, yang kita gadang-gadang dapat menjadi jawaban atas segala problematika zaman. Alih-alih menjadi jawaban, umat Islam saat ini masih saja bersiteru dalam ruang perbedaan madzhab, keyakinan, suku, bahasa, dan masih banyak lagi.

Umat Islam belum mampu sepenuhnya memahami, bagaimana perbedaan merupakan rahmat dari-Nya yang seharusnya kita syukuri. Sehingga, sangat tidak bisa terelakkan jika masih saja terjadi konflik yang mengatasnamakan agama terjadi di berbagai belahan dunia.

Konflik yang tidak saja berskala kecil, tetapi juga berskala besar yang memberikan dampak kerugian pada hilangnya materi, nyawa dan juga keamanan bagi keselamatan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Agama telah menjadi senjata yang mematikan, bukan menghidupkan dengan penuh kebahagiaan.

Jika telah demikian, maqashid syariah yang utama maupun segala bentuk turunannya sangat mustahil untuk kita wujudkan dan kita rasakan. Sudah saatnya umat Islam menata ulang pemahamannya terkait visi misi Islam yang sesungguhnya. Agar semua yang berkaitan dengan agama tersebut menjadi rahmat untuk seluruh alam. Bukan rahmat bagi diri atau kelompoknya saja.

Menyempurnakan Akhlak Mulia

Innamaa bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaaq. Pernyataan Kanjeng Nabi tersebut sungguh masyhur dan tidak ada umat Islam yang tidak mengetahuinya. Untuk menyempurnakan akhlak madzmumah menjadi karimah. Akhlak madzmumah merupakan akhlak yang menggerus nilai-nilai keadilan Tuhan yang berada di bumi, yang sifatnya intimidasi, diskriminasi, dan monopoli atas pihak yang lain.

Baca Juga:

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

Menyempurnakan tidak sama dengan mengganti, hingga dapat kita maknai, jika telah ada kebaikan dan karimah yang tidak madarat atas hak asasi manusia di era sebelumnya. Maka tidak perlu untuk kita sempurnakan dan kita formalisasi dengan paksa atas risalah tersebut. Di mana yang kita sempurnakan akhlak lho, bukan identitas leluhur dan juga kebiasaan baik yang sudah membudaya di masyarakat tertentu.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengungkap berbagai data penelitiannya, tentang bagaimana kondisi alam dan geografis sebuah wilayah sangat berpengaruh pada identitas suatu kelompok manusia. Yakni dari profesinya, warna kulitnya, karakternya, makanannya, dan masih banyak lagi.

Jadi, keberagaman itu adalah keniscayaan. Sangat sulit bagi kita untuk menjadikan orang-orang dengan kondisi kulit gelap karena tinggal di daerah dengan sinar cahaya yang sangat berlimpah untuk memiliki kulit yang terang.

Sangat sulit bagi kita meminta orang-orang dengan mata pencaharian sebagai pedagang ataupun peternak di tengah gurun untuk menjadi petani padi atau juga nelayan ikan di lautan. Itu sungguh sangat merepotkan dan kecil kemungkinan untuk berhasil.

Keragaman Bumi

Kondisi bumi sebahaimana penjelasan Ibnu Khaldun, dengan berbagai musimnya, dan penerimaan cahaya mataharinya, sungguh membentuk karakter dan budaya kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. Bahkan juga terhadap kondisi fisiknya. Apakah kita tetap ingin memaksa untuk menyeragamkannya? Sangat mustahil.

Oleh karena itu, kondisi yang Ibnu Khaldun catat tersebut sangat relevan dengan bunyi Alquran Surah Al-Hujurat ayat 13. Di mana memang Tuhan menjadikan kita semua ini berbeda dalam jenis kelamin, suku dan bangsa untuk saling mengenal, hingga kemudian saling mengasihi dan menyayangi. Bukan justru saling menghakimi dengan perspektif tunggal yang kita miliki.

Ayat tersebut juga meneguhkan, bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang tidak perlu selalu kita ributkan. Karena tidak akan ada ujungnya, dan semua pihak memiliki standar kebaikannya masing-masing bagi diri maupun kelompoknya. Bumi Tuhan itu tidak saja tanah yang kita pijak dengan segala udara yang kita hirup. Tapi bumi Tuhan juga diinjak oleh orang lain di belahan dataran, maupun lautan yang lain dari segala penjuru mata angin. Di mana hanya Dia Yang Mengetahui batas ujungnya.

Pendekatan Dakwah Walisongo

Para Walisongo sangat memahami teks Alquran dan Sunnah dengan berbagai pendekatan. Tidak saja pendekatan tunggal tekstual yang bersifat qawliyah, tetapi juga pendekatan kontekstual lainnya yang bersifat kawniyah. Sunan Kalijaga membawa ajaran tauhid melalui budaya pertunjukan wayang tanpa merubah lakonnya. Bahkan pakaian lurik dan blangkon yang nenjadi identitas sukunya sangat melekat pada potret beliau.

Sunan Kudus tetap membawa arsitektur candi pada bangunan masjid yang didirikannya, bahkan melarang penyembelihan sapi yang masyarakat sekitar keramatkan, walaupun syara menghalalkannya. Sunan Ampel dengan pondok dan santrinya, juga dengan aksara pegonnya, mengukuhkan bahwa tradisi dan budaya baik tidak perlu kita ganti. Karena visi misi Islam yang sejati adalah menjadi rahmat untuk seluruh makhluk di bumi dengan akhlak baik yang tertanam dari dalam hati.

Dari sini kita akan memahami pernyataan Pak Karno yang menyatakan bahwa kalau jadi orang Hindu, jangan jadi orang India. Sedangkan kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Lalu, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini. Juga pernyataan Gus Dur yang berbunyi “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita. Pertahankan apa yang menjadi milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya.”

Jika umat Islam dan pemeluk agama lainnya memahami hal ini dengan sangat baik, tentu visi misi baik seluruh keyakinan akan tercipta. Yakni dunia yang tenang dan damai dari segala bentuk huru-hara. Tidak ada yang memaksa, tidak ada yang kita paksa. Lalu, tidak ada yang merasa kita rugikan, dan tidak ada identitas budaya yang berubah. Semuanya tetap menjadi beragam sebagaimana kuasa yang Tuhan kehendaki. []

Tags: agamaBudayadakwahislamIslam NusantaraTradisiWallisongo
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Masyarakat Adat

    Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID