Mubadalah.id – Menginjak usiaku yang sudah kepala dua, undangan pernikahan mulai berdatangan dari teman-teman. Baik dari teman kuliah, maupun teman sekolah. Aku turut berbahagia dan berharap semoga kehidupan mereka yang baru bersama pasangan senantiasa dilimpahi keberkahan. Sebagai seorang lajang, tentu aku belum pernah merasakan langsung kehidupan berumah tangga itu seperti apa. Tapi melihat tingginya persentase kasus KDRT dan perceraian di Indonesia yang kebanyakan dari pasutri muda, juga masalah-masalah serupa yang dialami pasangan muda di lingkunganku, cukup meresahkanku sehingga membuatku tergerak untuk mencari tahu apa saja hal-hal mendasar yang seharusnya ada dan dilakukan oleh pasangan muda yang memutuskan untuk menikah. Tersarikan dari ayat-ayat Al-Qur’an, ada setidaknya 7 pondasi keluarga dan perkawinan.
Prinsip pertama adalah al-Qiyamu bi hududillah, yang berarti “berdasarkan batas-batas yang ditentukan Allah”. Maksudnya, segala ketentuan dalam rumah tangga seharusnya didasarkan kepada kemaslahatan bersama berdasarkan batas yang ditentukan Allah, bukan ditentukan sepihak untuk kepentingannya sendiri. Istilah hudud Allah (batas-batas yang ditentukan Allah) muncul dalam al-Qur’an sebanyak 13 kali di delapan ayat. Ayat-ayat itu berisi tentang tindakan keterlaluan yang merusak keluarga dan dipandang melampaui batas-batas ketentuan Allah.
Pondasi keluarga kedua ialah saling rela (ridlo). Allah menyebutkan prinsip ini dalam QS. Al-Baqarah: 232-233 dan QS. An-Nisa: 24. Ayat-ayat tersebut berisi tentang tindakan atau keputusan-keputusan dalam rumah tangga yang dibolehkan jika pasangan saling rela.
Pondasi keluarga yang ketiga yaitu layak (ma’ruf). Allah sering menyebut kata ma’ruf dalam konteks perkawinan dan keluarga. Istilah layak di sini secara sederhana berarti sesuatu yang baik menurut norma sosial dan ketentuan Allah. Jadi segala urusan dalam kehidupan keluarga misalnya dalam pembagian harta warisan, hubungan seksual suami istri, pengasuhan anak dan hal-hal lain, harus dijalankan sesuai dengan nilai kemanusiaan, norma sosial dan aturan agama.
Keempat adalah menciptakan kondisi yang lebih baik (Ihsan). Ihsan berarti lebih baik atau bisa juga dimaknai sebagai upaya menciptakan sesuatu yang jauh lebih baik. Al-Qur’an menyebutkan kata ihsan dalam konteks perkawinan sebanyak dua kali, yang intinya, semua tindakan dalam keluarga harus membuat semua pihak menjadi lebih baik.
Yang kelima yaitu tulus (nihlah). Prinsip nihlah (tulus) muncul dalam konteks pemberian mahar oleh suami kepada istri (QS. An-Nisa: 4). Dalam beberapa masyarakat, mahar dipandang sebagai alat pembayaran atas istri. Semakin tinggi nilai ekonomi sebuah mahar, semakin tinggi pula rasa memiliki suami atas istri, yang kemudian bisa menyebabkan istri kehilangan kekuasaan atas dirinya sendiri. Dalam Islam, mahar harus diberikan secara tulus, bukan alat pembayaran untuk menguasai. Prinsip ini menghendaki setiap pihak dalam keluarga untuk bersikap arif tidak sebatas mahar. Suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri, namun berapapun besarnya nafkah itu, suami tetap tidak boleh sewenang-wenang kepada istri.
Prinsip keenam adalah musyawarah. Secara umum prinsip ini menghendaki agar keputusan penting dalam keluarga selalu dibicarakan dan diputuskan bersama. Dalam QS. Ali Imran: 159, Allah memerintahkan musyawarah sebagai cara memutuskan perkara, termasuk perkara-perkara dalam perkawinan dan keluarga.
Yang terakhir, yaitu perdamaian (ishlah). Prinsip ishlah menghendaki bahwa semua pihak dalam perkawinan dan keluarga mesti mengedepankan cara-cara yang mengarah pada perdamaian tanpa kekerasan. Dalam konteks perkawinan, Al-Qur’an menyebutkan kata ishlah sebanyak tiga kali.
Demikianlah, pergaulan suami-istri, orangtua-anak, dan antar keluarga besar, pada umumnya terikat dengan prinsip-prinsip aspek muamalah (tindakan antar manusia). Jangan sampai ikatan perkawinan malah menjadi pembenar sikap sewenang-wenang kita terhadap pasangan, apalagi merasa menguasainya. Jangan karena adanya hubungan darah, malah membuat orangtua merasa berhak memaksakan kehendak kepada anaknya, atau seorang kakak merasa bebas menindas adiknya. Keterikatan itu seharusnya membuat seseorang lebih manusiawi kepada pasangan, orangtua, dan anak-anak mereka. [NR]
Referensi: Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin (2017)