Mubadalah.id – Seorang anak perempuan berinisial AP (17) asal Madiun, Jawa Timur mengalami nasib pilu. AP menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan anggota keluarganya.
AP diduga diperkosa oleh tiga anggota keluarganya secara bergiliran selama berhari-hari. Korban tidak berani melaporkan kejadian tersebut karena terancam akan dipukul hingga dibunuh oleh terduga pelaku.
Kejadian tersebut terjadi sejak tanggal 1-5 Agustus 2023. Hingga korban memutuskan untuk kabur dari rumahnya. Fakta ini menjadi bukti rumah tidak lagi menjadi tempat teraman bagi korban.
Sebelum kejadian tersebut, AP sering bercerita mengenai kekerasan fisik yang sering ia terima kepada tetangganya, namun mereka tidak melakukan apapun karena tidak ada bukti.
Sempat Kabur dan Tidur di Masjid
AP tinggal bersama keluarga ayahnya sejak orang tuanya bercerai. Ibu AP saat ini kita ketahui tinggal di Tulungagung, Jawa Timur.
Pendamping korban mengungkapkan bahwa AP merupakan lulusan SMP dan tidak disekolahkan ke jenjang berikutnya.
Setelah kejadian pilu tersebut, tepatnya pada 6 Agustus 2023 AP melarikan diri dari rumah. Ia harus tidur dari masjid satu ke masjid lainnya. AP juga sempat melaporkan kejadian pemerkosaan yang menimpanya namun ditolak karena tidak membawa kartu identitas dan tidak ada saksi.
Polisi Lakukan Penyelidikan
Korban kembali membuat laporan kepolisian terkait kejadian tersebut dengan pendampingan LSM WKR pada 23 Oktober 2023.
Korban juga mendapat pendampingan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi.
Menteri Sosial Tri Rismaharini juga menaruh atensi pada kasus ini, Ia datang langsung ke Madiun dan membawa korban ke rumah aman karena mengalami trauma berat.
Pihak kepolisian juga sudah mengantongi bukti visum, namun mereka mengatakan perlu melakukan pendalaman untuk menetapkan terduga pelaku sebagai tersangka.
Hasil visum korban menunjukkan ada luka lama, namun kepolisian mengatakan perlu diskusi lebih lanjut dengan pihak rumah sakit mengingat korban pernah mengalami hal serupa pada 2021. (TV One).
Polisi telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi sebanyak 13 orang selama sepekan proses penyelidikan. Hingga saat ini belum ada yang mereka tetapkan sebagai tersangka.
Ketika Rumah Bukan Lagi Tempat Teraman untuk Anak
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 per 7 Maret 2023 ada sebanyak 140 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan.
Sedangkan Pengada Layanan menangani 725 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat 70% korban kekerasan seksual kenal dengan pelaku, mulai dari ayah kandung, paman, kakek, kakak, hingga keluarga terdekat korban.
Kasus kekerasan seksual dalam keluarga semakin hari semakin meningkat. Berita-berita tentang pemerkosaan oleh anggota keluarga sering berseliweran di media sosial.
Melihat data-data tersebut membuat hati miris bagaimana kekerasan seksual di Indonesia paling banyak terjadi di lingkup keluarga, rumah sendiri, di mana seharusnya menjadi tempat aman untuk anak-anak.
Keluarga seharusnya menjalankan fungsinya untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Orang tua yang seharusnya memberikan rasa aman kepada anak justru meninggalkan trauma yang berkepanjangan pada anak.
Ayah sebagai pelindung dan pengayom malah menjadi sosok monster yang merenggut keamanan anaknya sendiri.
Kasus AP mewakili dari ratusan kasus pelecehan seksual dalam lingkup keluarga yang berhasil terungkap. Kasus pelecehan seksual seperti ini kita sebut sebagai pemerkosaan inses karena pelaku merupakan keluarga korban.
Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ayah biologis menempati urutan kedua dengan jumlah kasus menyentuh angka 400 setelah pacar di urutan pertama dengan jumlah 1.600 kasus.
Selanjutnya, di urutan ketiga ada paman yang masih bagian dari keluarga dengan jumlah kasus yang tidak berbeda jauh dengan sebelumnya.
Ayah tiri, saudara atau kerabat, sepupu, kakak ipar, kakak kandung, serta kakek juga tercatat sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anggota keluarga perempuan di keluarga mereka sendiri.
Amanda dan Hetty Krisnani (2019) dalam Jurnal Pekerjaan Sosial menemukan bahwa korban pemerkosaan inses memiliki rentang usia 3-18 tahun. Korban yang berusia 14-15 tahun menunjukkan frekuensi tinggi.
Budaya Patriarki dalam Keluarga
Tidak semua korban pemerkosaan inses berani untuk melaporkan atau menceritakan kejadian yang ia alami. Mayoritas korban lebih memilih untuk tidak bersuara karena takut akan berbagai risiko yang diterima. Kebanyakan korban pemerkosaan inses terpaksa bungkam agar tidak terbongkar di muka umum sebagai aib yang memalukan.
Orientasi patriarkis yang masih kuat di dalam keluarga bisa menjadi alasan lain mengapa kasus pemerkosaan inses tidak terlaporkan.
Dalam penelitian yang Bagong Sunaryo lakukan menemukan fakta bahwa pemerkosaan inses di Indonesia paling banyak dilakukan oleh ayah biologis dan ayah tiri. (The Conversation.com)
Ibu yang berada dalam dominasi suaminya dan tidak berdaya secara finansial cenderung merasa takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada anaknya.
Posisi ibu yang tersubordinasi membuat ia tidak bisa melindungi anak perempuannya dari tindak aniaya seksual yang dilakukan anggota keluarga lain terutama ayah korban.
Perbedaan status sosial juga membuat ibu harus berjuang ekstra ketika melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada anaknya.
Kasus pemerkosaan inses sering kali sulit terselesaikan dan dalam prosesnya korban sering mendapat intimidasi hingga ancaman.
Dampak Psikologis Korban Pemerkosaan Inses
Konsekuensi dari tidak mengatasi kekerasan terhadap anak akan berdampak sangat buruk. Terutama terhadap anak yang menjadi korban kekerasan fisik, seksual dan emosional kerap menderita konsekuensi jangka panjang, termasuk kondisi fisik dan psikologis. Bahkan kita tahu bahwa banyak pelaku juga merupakan korban kekerasan saat mereka kanak-kanak.
Berdasarkan Jurnal dari Kemensos, korban pemerkosaan inses akan mengalami taruma berkepanjangan yang membuat korban menarik diri, merasa bersalah pada diri sendiri, rendah diri, dan tidak mau bersosialisasi.
Korban menjadi pendiam, murung, stres, dan depresi berat serta sulit kita ajak berkomunikasi.
Hal tersebut terjadi akibat kurangnya dukungan yang kita berikan, dan sering kali terkucilkan oleh masyarakat bahkan keluarga.
Mereka juga bisa mengalami dampak fisik seperti kerusakan organ internal, pendarahan, tertular penyakit menular seksual hingga infeksi yang mengakibatkan kematian. Korban anak akan lebih menderita karena tidak mampu melawan kekuatan pelaku.
Penyintas membutuhkan pendampingan dengan orang yang sangat dekat dan mengerti kondisinya serta mampu motivasi dan memberi dukungan moral untuk bangkit dan menjalani kehidupan sosialnya. []