Mubadalah.id – Di Indonesia ada istilah Gono-gini. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan disebut Adat Perpantangan. Bagaiaman gono-gini menurut hukum Islam?
Ia adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Ini disebutkan dalam UU Perkawinan 01/74 pasal 35. Jika salah satunya meninggal dunia, maka hartanya, sebelum diwaris, dibagi dua terlebih dulu. Separoh diberikan kepada pasangannya yang hidup, yang separoh lagi dibagi untuk ahli waris. Harta Gono gini tidak disebutkan baik dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah (hadits) maupun kitab-kitab Fiqh.
Harta gono-gini tidak pernah ada dalam sejarah Islam sebelumnya.
Boleh jadi kasus gono-gini ini adalah khas Indonesia. K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, menulis bahwa kasus ini memperoleh keabsahannya dari seorang ulama Indonesia terkemuka dari Banjarmasin, Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari (w. 1812), penulis kitab “Sabilal Muhtadin”. Di Banjar pembagian waris seperti ini telah berjalan lama dan disebut “adat perpantangan”. Dalam masyarakat Aceh tradisi ini juga telah berlangsung lama yang disebut harta “seuharkat”.
Menurut Gus Dur selanjutnya, adat perpantangan ini nyata sekali merupakan sebuah hasil pemikiran kontekstual yang memperhitungkan masyarakat Banjar yang harus hidup dari kerja di atas sungai, baik berdagang maupun mengail atau menjala ikan. Pekerjaan ini tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang suami saja, tetapi harus dilakukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama dengan jalan membagi peran atas pekerjaan itu. (Majalah Pesantren,2/vol. II/1985).
Penetapan hukum berdasarkan alasan adat istiadat masyarakat mendapatkan landasan teori fiqh yang cukup banyak. Antara lain kaedah fiqh :
العادة محكمة
“adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’.
Atau kaedah :
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’”.
atau
استعمال الناس حجة يجب العمل يها
“Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti”.
Kaedah hukum ini tentu saja mengharuskan adanya kesesuaian dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau maqashid al syari’ah (cita-cita agama).
Betapa luwes, luas dan dinamisnya hukum Islam jika kita bisa mengapresiasi teori ini.