Mubadalah.id – Nazhirah Zainuddin lahir di Istanbul, Turki, pada 1907 M. la menempuh pendidikan pertamanya di Madrasah Nashiriyah, kemudian melanjutkan di Madrasah Amerika.
Pada 1935, ia menikah dengan Syafiq Halabi, dan mempunyai tiga orang anak. Ayahnya, Sa’id Zainuddin, kelahiran Desa Ain asy-Syawgiyah, adalah ahli hukum terkemuka dan menjabat sebagai hakim agung.
Meski lebih populer sebagai seorang aktivis, Nazhirah Zainuddin adalah perempuan intelektual atau ulama. Namanya dapat disejajarkan dengan tokoh feminis Mesir lainnya. Seperti Malak Hifni Nashif, Aisyah Taimuriyah, Nabawiyyah Musa, May Ziyadah, dan Huda Sya’rawi.
Kemudian Mohammad Abduh, Qasim Amin, dan Sa’ad Zaghlul, untuk menyebut beberapa nama saja. Ini adalah nama-nama yang sering kali dicap sebagai para pemikir Islam liberal.
Seperti para perempuan aktivis lainnya, Nazhirah Zainuddin bekerja dan berjuang membela kaumnya yang tertindas.
Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan.
Baginya, perempuan mempunyai hak untuk menjadi penafsir teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw.
Ia menulis dua buku untuk membicarakan persoalan ini: As-Sufur wa al-Hijab dan Al-Fatat wa asy-Syuyukh. Secara literal, as-sufur berarti tanpa kerudung, terbuka.
Sementara, al-hijab berarti pembatas atau tirai, meski kemudian berkembang menjadi bermakna jilbab atau cadar. Sedangkan al-fatat wa asy-Syuyukh berarti perempuan muda dan orang tua.
Dalam buku Al-Fatat wa asy-Syuyukh, Nazhirah Zainuddin menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak dalam menafsirkan al-Qur’an dan menulis fiqh.
Ia berkata: “Tentu, jika perempuan mempunyai hak untuk terlibat dalam hukum-hukum agama. Ia juga berhak dalam berijtihad, baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (pemahaman esoterik). Bahkan, perempuan lebih patut dan relevan untuk menafsirkan ayat-ayat terkait dengan hak dan kewajibannya, karena ia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain.” (hlm. 179). []