Mubadalah.id – Aisyah binti asy-Syathi’ memulai pendidikannya dengan belajar mengaji kepada orang tuanya sendiri: membaca (mengaji) al-Qur’an dan keilmuan Islam dasar, seperti ilmu tauhid, fiqh, dan bahasa.
la konon sangat ingin belajar di madrasah di desanya, tetapi ayahnya tidak mengizinkannya ke luar rumah. Ia hanya boleh belajar di dalam rumah. Ayahnya berkata, “Anak perempuan ulama tak patut keluar rumah.”
Aisyah binti asy-Syathi’ bersedih hati dan memberontak dengan mogok makan. Kakeknya merasakan kesedihan cucunya itu, dan berusaha membujuk putranya (Abdurrahman) agar mengizinkan perempuan yang kerap disapa Bintusy Syathi’ belajar di madrasah.
Abdurrahman akhirnya mengizinkan putrinya, tetapi dengan syarat hanya sampai usia baligh. Sesudah itu, sang putri tidak boleh keluar rumah, dan hanya belajar di rumah. Jika kelak ujian di madrasah, ia akan didaftarkan ikut ujian.
Bakat Bintusy Syathi’ sebagai perempuan ulama telah tampak sejak kanak-kanak. Ia hafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun.
Saat musim ujian tiba, ia diikutkan, dan ternyata ia memperoleh nilai tinggi, mengungguli teman-temannya dalam semua mata pelajaran di madrasah itu.
Dan, prestasi ini dicapai sampai pada tingkat madrasah tsanawiyah (aliyah di Indonesia).
Meski Bintusy Syathi’ merasa bahwa didikan ayahnya sangatlah ketat, tetapi ia begitu mengagumi dan menghormatinya. Ia bercerita tentang ayahnya, “Kepada orang yang aku banggakan, ayah yang shalih, guru pembimbingku, pemimpin yang kusegani, Syekh Muhammad Abdurrahman al-Husaini.”
“Ia lah yang sangat menginginkanku belajar ilmu-ilmu Islam, dan selalu berpesan kepadaku agar tak pernah berhenti belajar. Ia lah yang selalu menuntunku ke jalan kehidupan yang jujur dan benar.”
Kuliah di Universitas Kairo
Tahun 1939 M, Bintusy Syathi masuk kuliah, fakultas Adab (sastra), jurusan bahasa Arab, Universitas Kairo. Hal ini bisa terjadi berkat perjuangan ibunya.
Ayahnya masih belum mengizinkan anak gadisnya pergi jauh-jauh dari rumah. Dalam waktu singkat, dua tahun, Bintusy Syathi’ lulus dengan predikat “asy-syaraf al-ula” (cumlaude).
Bintusy Syathi melanjutkan pendidikannya ke Dirasah Ulya (pascasarjana) dan lagi-lagi memperoleh prestasi akademik luar biasa. Di pascasarjana ini, ia bertemu dengan dosen sekaligus pembimbingnya, Prof. Dr. Amin al-Khuli.
Beberapa waktu kemudian, sang dosen menjadi suaminya. Prof. Dr. Amin al-Khuli saat itu terkenal oleh publik sebagai sastrawan dan ahli tafsir terkemuka. Ia mempunyai forum sastra, tempat para sastrawan berkumpul dan berdiskusi sastra. []