Mubadalah.id – Seni obrog menjadi tanda bulan Ramadan tiba. Masyarakat di wilayah 3 Cirebon memiliki kebudayaan unik membangunkan sahur. Lewat obrog lah sekelompok pemuda bergerak, berkeliling desa membangunkan orang untuk sahur.
Berbekal alat-alat musik tradisional semacam kendang, beduk, gong, bonang, simbal, kecrek, dan gitar listrik atau piano sebagai melodi. Grup obrog berkeliling dari pukul 1 pagi hingga menjelang sahur. Dengan membawa lagu-lagu Jawa khas Cirebonan, alunan gitar, keplak gendang, dan dengung gong melantun di tengah malam. Membelah kesunyian dan kekhidmatan bulan suci Ramadan.
Laiknya sebuah band, kehadiran penyanyi dalam seni obrog pun sangat vital. Jika tidak ada “bagai anak ayam kehilangan induk” artinya cerai-berai tak menentu karena kehilangan tumpuan. Sebagus dan seciamik apapun tabuhan dan tepakannya jika suara-suara vokalis absen maka niscaya hanya hampa yang terasa.
Umumnya alat-alat musik ditabuh oleh laki-laki. Pun tak jarang yang menjadi vokalis juga laki-laki. Namun, beberapa grup obrog memberi kesempatan kepada perempuan untuk menjadi penyanyinya, menjadi vokalisnya. Menyumbang nada demi menggenapi kelengkapan seni musik tradisional ini.
Hal demikian, selaras dengan apa yang disampaikan KH. Husein Muhammad dalam buku Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan (2014). Buya Husein, sapaan akrabnya, mendaraskan ide keadilan perempuan melalui budaya-seni. Bahwa penegakkan keadilan dan kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan, di samping melalui karya akademis dan dialog kebudayaan, juga bisa melalui media budaya, seni, dan sastra.
Ruang Sosial
Menjadi makhluk ciptaan Tuhan, perempuan tak ubahnya laki-laki yang memiliki akal-pikiran, kecerdasan, hasrat seksual, kekuatan fisik, dan lainnya. Di antara potensi tersebut tak lain demi memangku amanat Tuhan, yang menurut Buya Husein ialah, mengelola dan memakmurkan bumi, manusia, dan alam.
Atas dasar tersebut keduanya sama-sama diberikan potensi oleh Tuhan untuk berhak memilih-dipilih, memimpin-dipimpin, berekspresi, memutuskan, dan sebagainya. Dalam konteks seni obrog, perempuan berhak menjadi vokalis dan berekspresi tanpa mendapat diskriminasi dan kekerasan demi membangun peradaban yang adil dan ramah.
Musik dan Peran Perempuan
Karya musik sedikitnya bisa mampu menyatukan keretakan dan keterpecahan manusia akibat perbedaan politik, ideologi, etnisitas, dan lainnya. Buya Husein menulis: “Konon, bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah, termasuk Israel, untuk sesaat mampu melupakan permusuhan manakala Ummi Kultsum, perempuan penyanyi legendaris dari Mesir tampil dalam setiap pagelaran konsernya.
Rasa-rasanya melihat dua peristiwa di atas, musik dan perempuan bisa menjadi media efektif dalam pergulatan sosial. Apalagi dalam kasus Ummi, musik dan perempuan mampu meredam kekerasan. Dengan itu, ada peran penting seorang perempuan di balik bergenderangnya alunan musik.
Demikian juga sama dalam seni obrog di bulan Ramadan. Suara perempuan melengkapi kerja-kerja sosial membangunkan sahur. Lewat ungkapan lirik-lirik lagu khas Panturaan, perempuan menyempurnakan tabuhan musik obrog menjadi lebih kontemplatif. Nyaman dihayati. Dan merasuk di telinga para pendengar.
Membangunkan sahur itu hal sepele dan kecil, namun berlimpah pahala. Di sana, peran aktif perempuan pun mesti terakui keberadaannya, lewat seni obrog, misalnya. Di bulan Ramadan, laki-laki dan perempuan bersinergi bersama membangun fungsi sosial-kemasyarakatan lewat pemanfaatan kesenian obrog.
Manakala ditelusur ada setitik kesalingan dalam kebudayaan ini. Laki-laki dan perempuan saling topang, bahu-membahu, menyemarakkan seni obrog demi sebuah perwujudan tugas sosial di masyarakat. Anggapan seni obrog hanya digerak-peruntukkan bagi lelaki saja itu tak benar. Faktanya, ada campur tangan perempuan memoles kesenian ini menjadi lebih menarik. Lebih berwarna. Dan lebih meletik menjadi sebuah bulatan kebudayaan yang masif di tataran wilayah Pantura. []