Mubadalah.id – Hari Kartini yang jatuh pada 21 April menjadi peringatan akan perjuangan kesetaraan perempuan. Namun kenyataannya di luar sana masih banyak Kartini yang masih memegang panci.
Apakah salah jika perempuan berprofesi sebagai pemegang panci yang hanya sibuk di dapur? Tentu tidak. Pilihan menjadi perempuan karir dan ibu rumah tangga adalah sama-sama baiknya.
Perlu digaris bawahi bahwa perempuan pemegang panci di sini ialah perempuan-perempuan termarjinal. Sudah hampir satu abad peringatan hari Kartini namun tetap saja nasibnya tidak mengalami perubahan.
Bahkan di momen-momen besar seperti lebaran yang baru saja terjadi, para Kartini harus terus memegang panci.
Bagaimana Kehidupan Kartini Pemegang Panci?
Para Kartini ini hanya terus sibuk di dapur. Jasanya luar biasa dengan memastikan bahwa semua perut para penghuni rumah harus tetap kenyang. Namun jasa Kartini yang satu ini sering kali terabaikan.
Di momen seperti lebaran, Kartini tidak bisa hanya diam. Banyak sekali yang jauh hari perlu ia persiapkan, mulai dari pesiapan stok makanan, sampai keperluan dan perlengkapan rumah yang harus ready saat lebaran tiba.
Selimut kebahagiaan yang menjadi harapan terkadang berjalan tidak sesuai dugaan. Kartini tetap saja disibukkan dengan kerjaan-kerjaan domestik. Bahkan saat banyak sanak saudara datang berkunjung, para Kartini harus tetap menomor satukan urusan dapur agar para tamu yang datang merasa senang.
Padahal para Kartini juga layaknya manusia yang ingin suaranya didengar. Menghadirkan wujud dan menikmati momen berkumpulnya keluarga saat lebaran. Bercengkrama dan mengobrol santai dengan keluarga jauh yang datang hanya ketika lebaran.
Namun budaya patriarki yang terlanjur mengakar jauh ke dalam kehidupan masyarakat, menjadikan perempuan layak dan bahkan wajib mengurus pancinya di belakang. Seakan perempuan tidak memiliki ruang untuk ikut nimbrung di ruangan depan.
Hal demikian seringkali terjadi. Bahkan dalam keluarga-keluarga yang terus memegangi nilai-nilai yang katanya islami.
Bagaimana Laki-laki Menyikapi Hal ini?
Layaknya sesama manusia, laki-laki harus juga memahami dan memiliki empati. Bukan karena para Kartini ini ingin dianggap yang paling berjasa sekali. Namun kehadiran para Kartini di tengah-tengah keluarga ini tentu bukanlah sesuatu yang merugi.
Banyak sekali keluarga yang terkadang jatuh bangkrut karena tidak adanya sosok Kartini dalam keluarganya. Para suami yang istrinya meninggal seringkali tidak bisa mengelola aset, terkendala usaha dan bahkan aktivitas keseharianya. Hal ini terjadi karena seringkali banyak laki-laki yang hanya bergantung dan mengandalkan keberadaan perempuan.
Dalam konsepsi mubadalah yang mengajarkan kesalingan, segala sesuatunya harus berkesalingan relasi. Laki-laki sebagai suami meskipun memiliki jabatan kantor yang lebih tinggi harus mau membantu istri dalam urusan memegang panci. Begitu juga sebaliknya, perempuan sebagai istri juga harus menjadi partner suami dan tidak terus saja merepotkan sebagai perempuan yang tidak mandiri.
Laki-laki yang seringkali mendominasi harus memberikan akses kepada perempuan. Tidak hanya laki-laki, perempuan yang sudah berdaya juga harus memberikan akses dan menolong perempuan yang masih termarjinal. Perempuan jangan malah ikut melanggengkan budaya patriarki yang terjadi.
Jika mengingat sejarah Raden Ajeng Kartini yang menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kartini semakin gencar memperjuangkan emansipasi. Perjuangannya mendapatkan dukungan suami. Satu-satunya laki-laki yang menyuruh kartini untuk tetap konsisten, yang akhirnya berdirilah sekolah untuk para perempuan.
Lalu, jika dahulu tujuan Raden Ajeng Kartini adalah memperjuangkan kesetaraan perempuan pribumi. Maka sudah seharusnya kita yang tinggal menikmati ini harus mengupayakan agar hal itu terus bereksistensi. []