Mubadalah.id – Pemaknaan secara literal terhadap ayat-ayat al-Qur’an seringkali melahirkan pandangan-pandangan yang simplistis dan hitam putih. Salah satunya, pandangan bahwa poligami itu ibadah.
Pandangan keibadahan secara sederhana didasarkan pada pernyataan bahwa ia disebutkan al-Qur’an dalam bentuk kata perintah (al-amru).
Keibadahan juga didasarkan pada asumsi bahwa poligami akan membantu untuk memenuhi kebutuhan perempuan, menolong mereka dan menafkahi mereka secara sah dan bertanggung jawab.
Poligami juga orang-orang anggap sebagai jalan keluar utama bagi laki-laki yang memiliki dorongan/libido seksual yang tinggi. Daripada berzina lebih baik poligami, demikian alasan yang mereka berikan. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa poligami itu wajib, dengan alasan sebagai jalan keluar untuk meninggalkan perzinahan.
Ketika kaidah fiqh menyatakan “meninggalkan sesuatu yang haram adalah wajib.” Maka poligami sebagai sarana untuk meninggalkan zina yang haram juga menjadi wajib. Atau setidaknya, poligami adalah ibadah.
Tetapi, nilai keibadahan poligami sendiri, sebagai sebuah relasi perkawinan, sangat susah kita temukan rujukannya dalam kitab-kitab tafsir di atas. Termasuk ketika membicarakan ‘redaksi perintah’, yang ada dalam ayat ketiga surat an-Nisa.
Pada pembicaraan mengenai pernikahan biasa, Imam ar-Razi mencatat bahwa kelompok az-Zahiri memandang pernikahan sebagai sebuah kewajiban agama dengan mendasarkan pada ayat tersebut.
Tetapi Imam asy-Syafi’i (Muhammad bin Idris, w. 204H) memandang sebaliknya. Bahwa pernikahan adalah urusan syahwat manusia. Sehingga tidak layak kita kaitkan dengan perintah dan anjuran agama.
Perkawinan karenanya tidak termasuk sesuatu yang wajibkan, atau sunnah. Ia hanya masuk dalam katagori sesuatu yang perkara mubah. []