Mubadalah.id – Ulama perempuan adalah seseorang yang memiliki keilmuan mendalam dalam Islam dan berperan sebagai pendidik, pemikir, dan pemimpin dalam komunitas Muslim. Sepanjang sejarah Islam, banyak ulama perempuan yang berkontribusi dalam bidang hadis, tafsir, fiqh, hingga pendidikan dan dakwah.
Kiprah Ulama Perempuan di masa lampau di antaranya adalah Aisyah binti Abu Bakar – Istri Nabi Muhammad ﷺ yang terkenal sebagai perawi hadis terkemuka dan ahli fiqh. Ummu Darda’, seorang ahli hadis dan fiqh yang mengajar di Damaskus, bahkan murid-muridnya termasuk ulama laki-laki terkemuka.
Kemudian Rabi’ah al-Adawiyah – Tokoh sufi yang terkenal dengan konsep cinta kepada Allah. Fatimah al-Fihri – Pendiri Universitas al-Qarawiyyin di Maroko, yang merupakan salah satu universitas tertua di dunia. Zainab binti Ahmad adalah Ulama hadis pada abad ke-14 yang mengajarkan Shahih Bukhari di berbagai kota besar Islam.
Istilah ulama berasal dari bahasa Arab yaitu jama’ dari kalimat ‘alimun yang bermakna menguasai ilmu agama. Kata ulama dan alimun berbeda, alimun adalah jamak mudzakar salim dari kata al-alim. Penyebutan kata ulama ada dua kali dalam al-Qur’an QS al-Syu’ara/26: 197 dan Fatir/35: 28. Sedangkan kata al-Alim terdapat 13 kali disebutkan. Dalam surat Fatir ayat 28:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨)
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”, (QS. Fathir/35: 28)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” ( Alhujurat/ 49 :13)
Peran Ulama Perempuan di Era Modern
Saat ini, ulama perempuan terus berperan dalam berbagai bidang, seperti di bidang Pendidikan Islam. Banyak pesantren khusus perempuan di Indonesia yang dipimpin oleh Ibu Nyai atau ustadzah. Selain itu banyak juga perempuan yang menjadi mubalighah, berdakwah dari panggung ke panggung menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Dakwah para Ulama perempuan berperan di berbagai media, termasuk televisi dan media sosial.
Selain itu, banyak juga para ulama perempuan yang fokus pada isu kajian gender dan Islam, untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam Islam, seperti Ibu Siti Musdah Mulia dari Indonesia, Ibu nyai Nur Rofi’ah dengan memberikan seminar bertemakan Kajian Gender Islam, Kiai Faqih Abdul Kodir dengan tema Mubadalah, Buya Husein Muhammad, Bu Nyai Badriyah Fayumi, dst.
Pergeseran istilah terkait ulama perempuan dan perempuan ulama menjadi berkembang dengan banyaknya kemunculan ulama laki-laki yang turut memperjuangkan hak-hak perempuan.
Di berbagai negara, ulama perempuan semakin diakui dan mendapatkan tempat dalam forum keilmuan Islam. Peran mereka sangat penting dalam memberikan perspektif yang lebih inklusif terhadap ajaran Islam.
Ulama perempuan di Nusantara memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia dan sekitarnya. Mereka tidak hanya berkontribusi dalam dakwah, tetapi juga dalam pendidikan, sosial, dan perjuangan kemerdekaan. Berikut beberapa ulama perempuan Nusantara yang berpengaruh. Di berbagai pesantren dan organisasi Islam, masih banyak ulama perempuan yang berkiprah dan membawa perubahan dalam masyarakat.
Mengapa Perlu Reinterpretasi
Reinterpretasi teks Qur’an dan Hadis adalah upaya memahami makna ajaran Islam dengan mempertimbangkan konteks sejarah, sosial, dan budaya saat ini. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan, adil, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan adanya perubahan sosial dan budaya, mengakibatkan masyarakat terus berkembang, dan beberapa aturan dalam teks klasik perlu dikontekstualisasikan sesuai dengan zaman. Beberapa tafsir klasik cenderung patriarkal atau kurang mendukung hak perempuan dan kelompok rentan, sehingga perlu kita tinjau ulang.
Pendekatan dalam Reinterpretasi, begitu pun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, menuntut penyesuaian dalam pemahaman ayat tentang sains, kesehatan, ekonomi, dan lainnya. Pendekatan kontekstual-historis atau kontekstualisasi historis dan budaya, karena beberapa aturan dalam Qur’an dan Hadis muncul dalam konteks budaya Arab abad ke-7, yang bisa berbeda dengan kondisi masyarakat modern saat ini, sekarang maupun di masa depan.
Reinterpretasi teks Qur’an dan Hadis bukan berarti mengubah ajaran Islam, tetapi menyesuaikan pemahaman agar tetap relevan dengan tantangan zaman. Proses ini harus kita lakukan dengan metodologi yang kuat, berbasis ilmu, serta tetap menghormati nilai-nilai Islam yang universal: keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan umat.
Pendekatan Maqashid Syariah (Tujuan Hukum Islam)
Mengkaji latar belakang sejarah turunnya ayat atau hadis (asbabun nuzul/asbab wurud). Contoh: Ayat tentang qishash (hukuman balas dendam) dalam QS. Al-Baqarah: 178, yang dalam konteks modern bisa kita terapkan dalam sistem hukum restoratif.
Memahami hukum Islam berdasarkan prinsip dasar Islam: kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan. Contoh: Tafsir baru tentang warisan perempuan (QS. An-Nisa: 11) yang menyesuaikan dengan kondisi ekonomi perempuan masa kini.
Pendekatan Hermeneutika, Mengkaji teks dengan perspektif gender untuk menghilangkan bias patriarkis dalam tafsir klasik. Contoh: Hadis yang menyebut perempuan sebagai sumber fitnah, yang sebenarnya lebih bersifat kontekstual daripada universal.
Pendekatan Ilmiah dan Rasional, menggunakan ilmu pengetahuan untuk memahami ayat-ayat tentang sains, kesehatan, dan lainnya. Contoh: Ayat tentang penciptaan manusia dalam QS. Al-Alaq: 2 yang dikaitkan dengan embriologi modern.
Contoh Reinterpretasi Teks Poligami dalam Islam (QS. An-Nisa: 3). Tafsir klasik membolehkan poligami, tetapi dengan syarat adil. Tafsir modern menekankan bahwa keadilan yang sempurna hampir mustahil tercapai, sehingga monogami lebih dianjurkan.
Kepemimpinan Perempuan, Hadist yang berbunyi “Tidak Akan Beruntung Kaum yang Dipimpin Perempuan”. Hadis ini muncul dalam konteks kekuasaan Persia saat itu, sehingga tidak bisa kita jadikan dalil mutlak untuk melarang kepemimpinan perempuan di semua aspek.
Konsep Jihad yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 190. Reinterpretasi modern menekankan bahwa jihad bukan hanya perang fisik, tetapi juga perjuangan intelektual, sosial, dan ekonomi untuk kebaikan umat.
Metodologi KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia)
Metodologi KUPI ini menjadi dasar dalam berbagai fatwa dan keputusan yang dihasilkan, seperti terkait kekerasan terhadap perempuan, pernikahan anak, isu lingkungan, dan hak-hak perempuan dalam Islam. Merujuk pada pendekatan khas yang digunakan dalam merumuskan pemikiran dan fatwa keislaman dari perspektif ulama perempuan. Metodologi ini menekankan beberapa prinsip yaitu ma’rifah, keadilan hakiki dan mubadalah dalam menganalisis setipa permasalahan.
Berbasis pada Sumber Islam yang Komprehensif, menggunakan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas sebagai sumber utama. Menafsirkan sumber-sumber tersebut dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan kemanusiaan. Tafsir Kritis dan Kontekstual.
Tidak hanya membaca teks secara harfiah, tetapi juga melihat konteks historis dan sosialnya. Mempertimbangkan pengalaman perempuan dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam. Berorientasi pada Keadilan manusia dan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan.
Menolak tafsir agama yang mendukung diskriminasi atau ketidakadilan pada kaum marginal, dari jenis kelamin, status sosial, disabilitas, kaum mustad’afin, dst. Pendekatan metodologi KUPI dengan berbasis pengalaman nyata para aktivis penggerak kaum perempuan. Menggunakan pengalaman hidup sebagai bagian dari analisis hukum Islam, mengutamakan pendekatan empirik dalam memahami isu-isu yang menjadi persoalan.
Metodologi KUPI melibatkan berbagai disiplin Ilmu, denga memadukan kajian keislaman dengan ilmu sosial, hukum, dan humaniora. Pendekatan interdisipliner tersebut untuk menghasilkan solusi yang holistik, bersifat partisipatif dan Inklusif. KUPI terselenggara dengan melibatkan ulama perempuan, akademisi, aktivis, dan masyarakat dalam proses perumusan pemikiran, untuk mengakomodasi berbagai perspektif dalam pengambilan keputusan. []