Mubadalah.id – Konstruksi sosial baru yang ingin diwujudkan al-Qur’an ditempuh melalui cara-cara yang tidak revolusioner, tidak radikal, tidak instan, dan anti kekerasan. Meski demikian, pembaca teks-teks al-Qur’an yang kritis dan cerdas akan menjumpai bahwa transformasi yang al-Qur’an berikan sesungguhnya dapat kita pandang progresif dan terlalu modern untuk zamannya.
Bayangkan, dalam masa kurang dari 23 tahun al-Qur’an diturunkan, perubahan-perubahan besar telah terjadi. Baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.
Seratus tahun sesudah itu, peradaban baru berskala dunia muncul. Lebih spektakuler lagi adalah bahwa Nabi Muhammad Saw telah mencanangkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Melalui apa yang kemudian populer kita sebut “Piagam Madinah”.
Marshall G.S. Hodgson menyebut keadaan ini dalam ungkapannya yang menarik:
“Pada tingkat literal yang cerdas di mana suara hati dari orang-orang yang berkembang terlibat. Kedatangan Islam menandai suatu pelanggaran dalam kesinambungan kultural yang tiada bandingnya di antara peradaban-peradaban besar yang telah kita kenal.”
Kita mungkin dapat mengatakan bahwa proses transformasi al-Qur’an secara umum adalah transformasi kultural dari tidak ada menjadi ada. Bahkan dalam proses yang terus menerus untuk menjadi.
Cara-cara atau pendekatan demikian bukan hanya dalam masalah-masalah perempuan. Tetapi juga dalam masalah-masalah yang lain.
Contoh kasus perubahan gradual yang biasa para ahli tafsir kemukakan adalah ayat-ayat tentang khamr (minum-minuman keras) atau riba (bunga dan rente). []