Mubadalah.id – Fenomena parisida, atau parricide, yang mengacu pada tindak kriminal pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya. Fenomena ini merupakan salah satu kejahatan yang paling mengejutkan dalam masyarakat. Dalam kasus ini, anak menjadi pelaku, sementara orang tua menjadi korban.
Istilah ini mulai muncul dalam beberapa waktu belakangan, mencerminkan kejadian yang mengguncang nilai-nilai moral dan ikatan keluarga. Kasus seperti ini tidak hanya mencerminkan tindakan kriminal yang brutal tetapi juga menggambarkan keretakan dalam hubungan keluarga, tekanan psikologis, serta dinamika sosial yang kompleks.
Parricide atau parisida sebenarnya merupakan kasus yang jarang terjadi dalam pembunuhan. Riset menunjukkan bahwa kasus parisida berada pada rentang 1,7-4% dari keseluruhan kasus pembunuhan di dunia. Menurut Heide, seorang profesor dari Departemen Kriminologi Universitas Florida Selatan (USF), pada umumnya pelaku tindakan parisida memiliki riwayat pelecehan dan kekerasan dalam keluarga yang berlangsung lama.
Hal ini menunjukkan bahwa trauma masa lalu yang diderita oleh anak memiliki kontribusi signifikan dalam mendorong tindakan ekstrem seperti parisida. Situasi ini menjadi pengingat penting bahwa hubungan keluarga yang tidak sehat dapat membawa konsekuensi tragis jika tidak segera tertangani.
Melihat Peran Keluarga
Disfungsi keluarga merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya parisida. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua atau keluarga memiliki andil dalam perkembangan gejala-gejala depresif pada anak.
Relasi kuasa yang orang tualakukan dalam upaya mengontrol anak secara penuh, seperti pemaksaan ekspresi verbal, mengabaikan perasaan anak, serta pemaksaan perilaku tertentu, dapat berkontribusi pada ketegangan psikologis yang mendalam. Pola asuh yang menekan seperti ini menciptakan ketidakharmonisan dalam keluarga, sehingga dapat memicu konflik yang berujung pada tindak kekerasan.
Islam memandang keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak. Anak selalu melihat dan menirukan hal-hal yang orang tuanya lakukan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu, orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk membimbing anaknya dan memberikan pemenuhan kebutuhan fisik serta psikis.
Perhatian, kasih sayang, serta teladan yang baik harus menjadi fondasi yang orang tua tanamkan kepada anak-anak mereka. Ketika anak mendapatkan lingkungan keluarga yang penuh cinta dan penghargaan, ia cenderung tumbuh menjadi individu yang stabil secara emosional dan mampu menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain.
Hak Anak dalam Al-Qur’an
Dari fenomena ini, kita tersadar bahwa anak dalam konteks Al-Qur’an merupakan amanah berharga yang harus kita jaga. Orang tua, dalam tuntunan Qurani, juga merupakan sosok yang harus kita hormati keberadaannya. Ada kesalingan, hubungan timbal balik dua arah yang menjadikan keduanya bertanggung jawab menjaga hubungan baik.
Anak tidak hanya memiliki kewajiban untuk menghormati dan mematuhi orang tua, tetapi orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengasuhan yang sehat bagi anak-anak mereka.
Tafsir al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz karya Ibnu Athiyyah pada Qs. Ash-Shaffat 102 mendeskripsikan bagaimana sikap Nabi Ibrahim sebagai orang tua menaruh hormat dan menghargai sang anak melalui pertanyaan dialogis padanya dengan kalimat “fanzhur madza taraa” atau “pikirkan bagaimana pendapatmu?”
Fenomena ini menarik, meski kita tahu pasti bahwa Ismail tidak akan berani menolak perintah Allah yang disampaikan melalui mimpi ayahnya, namun Nabi Ibrahim tetap bertanya kepada sang anak untuk mendengar langsung pendapatnya.
Peristiwa ini memberikan teladan kepada kita bahwa hubungan dan komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak akan menciptakan ikatan emosional yang kuat. Dalam konteks masa kini, sikap ini mengajarkan pentingnya dialog yang konstruktif dan saling menghormati dalam membangun hubungan keluarga yang harmonis.
Konflik Keluarga sebagai Pemicu
Parisida bukanlah tindakan yang terjadi tanpa sebab. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi perilaku ini, di antaranya konflik keluarga yang tak terselesaikan, gangguan mental, pengaruh lingkungan dan pergaulan, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, serta tekanan sosial dan ekonomi.
Konflik keluarga, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tekanan finansial, atau ketegangan antara anak dan orang tua, sering kali menjadi pemicu. Ketika konflik ini tidak terselesaikan, ia dapat memunculkan kebencian yang mendalam pada salah satu pihak, yang kadang kala memicu tindak kekerasan ekstrem.
Selain itu, gangguan mental seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau depresi berat sering kali ditemukan dalam kasus parisida. Anak yang menderita gangguan ini mungkin memiliki persepsi yang salah tentang kenyataan, sehingga mengambil keputusan yang tidak rasional.
Lingkungan sosial yang buruk, termasuk pergaulan dengan teman-teman yang memiliki pengaruh negatif, juga dapat memengaruhi pola pikir seseorang. Anak yang terpapar kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung, mungkin melihat kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik. Hal ini diperburuk oleh penyalahgunaan narkoba dan alkohol yang sering kali memengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir jernih.
Banyak kasus parisida terjadi di bawah pengaruh zat-zat ini, yang menghilangkan kendali diri pelaku. Selain itu, tekanan sosial dan ekonomi, seperti kemiskinan, utang, atau tuntutan untuk memenuhi ekspektasi orang tua, dapat menjadi faktor yang membuat seorang anak merasa terjebak dan mencari pelarian dalam tindakan ekstrem.
Upaya Pencegahan dan Peran Orang Tua
Mengatasi fenomena parisida memerlukan pendekatan yang komprehensif. Salah satu langkah penting adalah memberikan pendidikan tentang nilai-nilai keluarga. Pendidikan di sekolah maupun di rumah harus menekankan pentingnya menghormati orang tua, menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat, dan membangun komunikasi yang efektif.
Selain itu, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental juga sangat diperlukan. Banyak kasus parisida terjadi karena pelaku tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk menangani gangguan mentalnya. Pemerintah dan masyarakat perlu memastikan akses terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau dan bebas stigma.
Fenomena parisida adalah masalah serius yang tidak hanya merusak hubungan keluarga tetapi juga mengguncang tatanan sosial dan moral dalam masyarakat. Untuk mencegahnya, kita perlu mengatasi akar permasalahannya secara komprehensif, mulai dari tingkat individu hingga masyarakat luas.
Pendidikan nilai-nilai keluarga, akses terhadap layanan kesehatan mental, serta penguatan ekonomi keluarga adalah langkah strategis yang harus menjadi prioritas bersama.
Selain itu, penting untuk menciptakan budaya yang mendukung komunikasi dan penyelesaian konflik secara damai. Dengan upaya yang konsisten, kita dapat mengurangi angka kasus parisida dan membangun masyarakat yang lebih harmonis. []