Mubadalah.id – Kerja mubadalah adalah segala upaya kultural untuk mentransformasikan relasi gender yang awalnya hierarkis, hegemonik, dan dominatif, menjadi relasi yang resiprokal, bermartabat, adil, dan maslahat.
Dalam Islam, kerja-kerja kultural ini harus merujuk pada al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw, di samping kepada khazanah fikih, tafsir, tasawuf, dan lainnya.
Yang utama, bagaimana kita menemukan rujukan untuk menegaskan bahwa perempuan adalah subjek kehidupan sebagaimana laki-laki.
Dalam konteks keilmuan, ilmu Hadis telah membuat keputusan yang cukup radikal ketika memandang satu perempuan setara dengan satu laki-laki dalam hal mendengar dan meriwayatkan Hadis.
Akal perempuan setara dengan akal laki-laki, tanpa perlu penguat satu saksi dari perempuan lain. Seorang perempuan bisa menjadi murid yang mendengar. Lalu menjadi perawi yang terpercaya dalam semua keilmuan Islam, seperti akidah, akhlak, maupun hukum.
Pembahasan tentang akal perempuan untuk hal-hal krusial dalam ajaran Islam ini menarik. Dalam fikih, dengan dasar (QS. al-Baqarah (2): 282) tentang utang piutang, persaksian perempuan di hampir semua urusan dunia dianggap satu laki-laki berbanding dua perempuan.
Kemudian, terobosan ilmu Hadis ini—yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi setara—bisa menjadi awal untuk melihat lebih banyak. Terutama melihat dimensi Hadis yang sering kali dipandang sebelah mata oleh beberapa akademisi.
Sehingga rumusan teologi keislaman dalam kerja mubadalah lebih ramah perempuan dan adil gender. Sebagai sumber rujukan kedua dalam Islam, banyak hal yang bisa kita temukan dengan merujuk pada teks Hadis.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah.