Mubadalah.id – Terhitung mulai hari ini, PPKM Darurat Jawa dan Bali resmi diberlakukan oleh Pemerintah sejak 03 Juli sampai dengan 20 Juli 2021. Praktis semua aktivitas masyarakat berhenti sejenak, membatasi ruang gerak kita hanya di rumah saja, untuk menekan angka penyebaran covid-19 yang makin tak terkendali. Kabar duka datang silih berganti, membuat hati kita perih.
Penderitaan dan rasa kehilangan tiba-tiba menyeruak, seperti keheningan serentak yang menguasai, dan isak tangis lirih tinggal hanya rasa sesak yang tak berkesudahan. Ketika nyawa manusia begitu mudah “diambil” olehNya, selentingan kabar terdengar bahwa kiamat kecil telah terjadi.
Tapi benarkah demikian? Benarkah kita sedang menghadapi kiamat kecil? Ah, tidak! Tulisan ini juga menjadi pelipur laraku, self healing dengan menuliskan setiap keping resah dan penderitaan yang mengelabui jiwa. Sejak entah kapan tetiba angka covid-19 naik perlahan paska lebaran itu, yang diawali dari satu dua orang terpapar, hingga kini mencapai jutaan jiwa, setiap waktu seperti hari-hari pertaruhan yang tak pernah henti. Bagai permainan maut Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes yang novelnya ditulis apik oleh Suzanne Collins.
Beruntung, saya membaca buku “Manusia Rohani” karya guruku di Pasca Sarjana Unusia Jakarta Gus Ulil Abshar Abdalla, di bab delapan tentang “Penderitaan Memperdalam Pengertian Kita tentang Makna Hidup.” Dalam kata lain, Gus Ulil menyebutnya sebagai filosofi penderitaan, karena menurutnya penderitaan merupakan fakta hidup yang tak terhindarkan, maka ajaran ajaran tentang penderitaan menjadi sangat penting.
Ajaran tentang penderitaan ini, setidaknya mengajarkan pada manusia agar menyikapinya dengan tepat dan benar, sehingga kita tidak menderita untuk yang kedua kalinya. Hal yang memang tak bisa terhindarkan dari kehidupan manusia adalah penderitaan fisik, baik berupa penyakit, kemiskinan atau penderitaan manusia saat ini di tengah wabah pandemi covid-19 yang entah kapan akan berakhir.
Gus Ulil mengilustrasikan jika kehidupan manusia berjalan mulus saja seperti berkendara di jalan tol yang bebas hambatan, tak ada gangguan, tak ada kesulitan, tak ada tantangan, maka kehidupan seperti itu memang tampak menyenangkan. Di kalimat berikutnya, Gus Ulil mengajukan pertanyaan, benarkah kehidupan yang tanpa gelombang dan ombak layak kita jalani? Bukankah kehidupan seperti itu malah membosankan karena tak mengenal petualangan?
Saya mengamini pendapat Guruku itu, yang merupakan hikmah dari ajaran Syekh Ibnu ‘Athaillah, yang dimaknai sebagai tafsir penderitaan. Karena penderitaan kerap membuat manusia semakin matang secara kejiwaan, membuat kita juga semakin dekat dengan Tuhan, apapun jenis penderitaan yang kita alami, kehilangan orang-orang terkasih karena wafat sebagai penyintas covid-19, atau diri serta keluarga yang terpapar makhluk kecil ciptaan Tuhan tersebut.
Sehingga menurut Gus Ulil, penderitaan tersebut harus kita sambut sebagai bentuk uluran tangan dari Tuhan, agar kita manusia lebih mengenaliNya. Mari, sambutlah uluran tangan itu dengan penuh suka cita. Dan, setiap keluhan, kesedihan saat perasaan kita terendam oleh penderitaan tiada kira, itulah jalan menuju kematangan jiwa. Itulah jalan manusia mengenali sumber kehidupan.
Lalu apa sebenarnya makna penderitaan? Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah sebagaimana yang dituliskan Gus Ulil dalam buku tersebut, adalah cara Tuhan agar mau mengenalkan diri (ta’aruf) agar lebih dekat kepada kita. Penderitaan adalah sarana menuju pendewasaan mental dan spiritual, sama halnya seperti ujian yang membuat kita bisa naik kelas.
Tetapi, ditegaskan Gus Ulil, penderitaan juga jangan dimaknai bahwa kita lebih baik menderita terus tanpa berusaha untuk mencari solusi dan jalan keluar dari sana. Menurutnya, manusia tetapi diwajibkan mencari jalan keluar dari penderitaan yang dialaminya, sebab jalan keluar tersebut justru akan mengurangi rasa sakit yang sedang diderita.
Sebagai kalimat pamungkas dalam catatan bab delapan itu, Gus Ulil mengajak kita untuk berdoa agar semua yang sedang menderita diringankan, dilekaskan kesembuhannya, dimudahkan jalan ikhtiarnya untuk mencari jalan keluar dari semua kesulitan dan penderitaan hidup. Selain itu juga diberi kemampuan untuk menghayati penderitaan sebagai jalan pendewasaan, yakni jalan mengenal Tuhan secara lebih dekat.
Untuk itu, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), mengajak segenap komponen bangsa ini, untuk berdoa bersama, agar penderitaan musibah pandemi covid-19 yang menimpa kita semua segera diangkat, yang sakit diberi kesembuhan, dan para tenaga kesehatan yang bekerja agar diberi kekuatan untuk mendampingi mereka yang tengah menjalani perawatan medis secara intensif.
Ajakan doa bersama Jaringan KUPI juga, untuk mendoakan mereka yang telah mendahului kita, agar diberi tempat yang mulia di sisi-Nya. Dengan tajuk Doa KUPI untuk Negeri: Doa Khataman, Istighotsah, dan Muhasabah akan digelar malam nanti Sabtu, 03 Juli 2021 Pukul 19.30 WIB. Acara akan disiarkan secara live di Facebook Mubadalah.id dan Youtube Swararahima dotcom. []