Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masih terus bergulir. Dukungan untuk segera disahkannya RUU ini terus mengalir. Salah satunya dari pegiat layanan bagi penyintas kekerasan seksual di Kabupaten Bandung, Maman Koswara.
Hal itu terungkap dalam kegiatan deklarasi dan dukungan yang digagas oleh Jaringan Perempuan dan Task Force Jawa Barat, Jumat (22 Februari 2019) di Gedung Dewi Sartika Soreang Kabupaten Bandung. Ketika sesi diskusi akan berakhir, moderator memberi kesempatan pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) untuk berbicara tentang urgensi disahkannya RUU P-KS.
Maman Koswara, sebagai Sekretaris P2TP2A Kabupaten Bandung menyampaikan beberapa fakta menarik terkait layanan bagi penyintas kekerasan seksual. Dia sudah bertahun-tahun menjadi pendamping beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Bandung.
Bahkan sejak tahun 2016, Maman bersama jaringan kerja P2TP2A Kabupaten Bandung yang melibatkan Sapa Institute, Save Children, dan Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), melakukan road show mengumpulkan 10 ribu tanda tangan dan petisi dari 31 kecamatan se-Kabupaten Bandung untuk mendukung segera disahkannya RUU P-KS menjadi undang-undang. Petisi ini sudah dikirimkan ke Komisi VIII DPR RI di Jakarta.
Tindakan itu bukan tanpa alasan. Berdasarkan data P2TP2A, pada Januari 2015 terdapat 124 korban. Lalu meningkat menjadi 159 kasus di tahun 2016. Memasuki tahun 2017, naik lagi jadi 230 kasus, kemudian di tahun 2018 ada 178 kasus. Sementara per bulan Juli sampai Desember 2018 ini bertambah menjadi 296 kasus. Paling besar adalah pelecehan dan kekerasan seksual, serta sodomi.
Maka menurut Maman ada hal terkait RUU PKS yang sangat penting, tidak hanya diberikan kepada penyintas, rehabilitasi pelaku kekerasan seksual juga perlu dilakukan. Rehabilitasi pelaku bertujuan bagaimana merubah mind set berpikir pelaku agar bisa berubah, dan tidak melakukan tindakan yang sama.
Karena pernah suatu ketika, Maman menangani kasus kekerasan seksual ayah terhadap putri kandungnya sendiri. Lalu dijatuhi vonis hukuman penjara 3 tahun. Tetapi begitu si Ayah keluar dari penjara, ia melakukan tindakan yang sama pada putrinya. Sebab masih tinggal dalam satu rumah.
Selain itu, Maman dan komunitasnya juga menggagas konsep “Parenting Digital”. Setelah mereka melakukan analisis sejak tahun 2015, dengan satu pertanyaan yang meresahkan, mengapa korban kekerasan yang paling banyak adalah anak-anak. Dari analisa itu dibuat strategi pencegahan.
Pertama, pola asuh di keluarga. Sehingga anggota keluarga, tidak hanya orang tua, tapi juga seluruh keluarga yang tinggal dalam satu rumah, harus tahu di mana anak bermain dan dengan siapa. Kedua, lingkungan di mana anak belajar dan bermain. Ketiga, media sosial dan internet yang sering diakses anak.
Sehingga dengan strategi seperti itu, di Kabupaten Bandung memiliki program warnet ramah anak. Karena seringkali juga ditemui pelaku dan korban masih sama-sama berusia anak. Maka sekarang gencar mensosialisasikan konsep parenting secara digital.
Di setiap smartphone atau smart tv ada program parental control. Upaya preventif ini, orang tua harus lebih aktif lagi, kalau hanya sekedar penanganan lalu apa bedanya kita dengan pemadam kebakaran. Begitu satu kasus selesai, maka akan semakin banyak bermunculan kasus yang lain.
Jadi pada akhirnya, Maman mengatakan dalam menangani kasus kekerasan seksual, selain urgensi disahkannya RUU P-KS, juga tergantung pada bagaimana komitmen para penegak hukum. Mereka juga harus membangun perspektif keadilan bagi korban.
Tidak hanya pada masyarakat sipil yang harus paham tentang RUU P-KS, tetapi yang lebih penting dari pihak pengadilan, hakim, polisi, advokat. Karena seringkali ketika mendampingi kasus kekerasan seksual itu, justru lemah pada saat putusan dan ketuk palu hakim.
Maman menyadari sampai kapanpun kekerasan seksual tidak akan selesai, karena seperti fenomena gunung es. Kelihatan sedikit di permukaan, namun lebih banyak yang tidak diketahui. Alasannya karena takut, atau menganggap itu adalah aib keluarga. Tetapi minimal bagi Maman, ia dan kawan-kawannya telah berhasil mendorong masyarakat agar berani bicara dan bersuara, khususnya terkait penyediaan layanan rehabilitasi tidak hanya bagi korban, tapi pelaku kekerasan seksual juga perlu direhabilitasi.[]