Mubadalah.id – Berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Berbagai aktvitas sosial dan forum-forum lembaga swadaya masyarakat sudah banyak memperbincangkan topik-topik terkait relasi laki-laki dan perempuan dalam koridor kemanusiaan. Hal tersebut merupakan salah bentuk kepedulian ‘sebagian manusia’ terhadap fenomena ketimpangan gender yang sangat sering terjadi di kehidupan kita.
Dewasa ini kasus-kasus yang sangat memilukan tidak pernah absen dari media massa. Terlebih fenomena kekerasan terhadap perempuan yang kerap kali muncul ke publik. Yang terbaru ialah kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lima siswi SMA di Timika oleh salah seorang petugas kementerian setempat.
Selain itu, kasus yang menjerat artis sekaligus host layar kaca Indonesia, Saiful Jamil, yang sekarang terbebas dari vonis hukuman 5 tahun penjara akibat perbuatannya yang mencabuli pelajar kelas III SMA. Ironisnya, bebasnya Saiful Jamil seakan disambut hangat oleh dunia entertainment dan televisi kita, dan diksi yang bermunculan yang kita terima seolah-olah pelaku adalah korban dari vonis hukum yang ia terima.
Kasus-kasus di atas merupakan fenomena yang sangat memilukan dan menyesakkan dada. Bahkan, data dan catatan kasus mengerikan lainnya yang dicatat oleh Komnas Perempuan. Lembaga negara independen untuk penegakan hak asasi perempuan Indonesia tersebut mencatat sepanjang tahun 2019 saja terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani. Data tersebut mengalami kenaikan 6% dari tahun sebelumnya yaitu 406.178 kasus.
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi setiap tahunnya ini mencakup ranah privat/ personal, ranah publik/negara. Selain itu, terdapat fenomena pembunuhan terhadap perempuan hanya karena dia seorang perempuan, atau sering disebut dengan femisida. Komnas Perempuan menjelaskan bahwa femisida kini menjadi isu serius yang menarik perhatian dunia, akan tetapi di Indonesia fenomena ini kurang mendapat perhatian penuh. Hal ini terlihat dari pendataan yang masih mengkategorikan isu femisida hanya sebagai tindak kriminal biasa.
Dari beberapa uraian di atas, bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi korban dari kasus kekerasan seksual. Meskipun kebanyakan kasus yang menimpanya bukan dengan alasan karena ‘dia terlahir sebagai laki-laki’, tetapi lebih kepada karena ia sebagai kaum minoritas, sikap, atau hal lainnya. Beda halnya dengan yang kerap dialami oleh perempuan, terdapat perbedaan yang mendasar dalam fenomena ini. Ketidakadilan gender sering terjadi dalam kondisi bias, seperti kondisi dimana perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan hanya karena ia dilahirkan menjadi perempuan.
Apabila fenomena femisida ini masih diamini atau bahkan dianggap sebagai hal yang biasa saja oleh masyarakat kita, maka sampai kapan perempuan akan menanggung ‘beban moral’ yang berat hanya karena ia dilahirkan sebagai perempuan? Padahal kita sama-sama sepakat bahwa Tuhan tidak ‘patriarkis’ dalam menciptakanan umat manusia. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menyudutkan laki-laki ataupun perempuan. Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk menyajikan narasi-narasi kebaikan yang sepatutnya kita sebarluaskan dan kita yakini untuk dapat kita jaga dengan erat.
Ketimpangan Sosial dan Hilangnya Semangat Persaudaraan
ketimpangan sosial juga berdampak buruk pada perbedaan sikap masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan kita, Istilah ketimpangan sosial dan budaya patriarki bukanlah suatu hal yang asing ditelinga dan sudah sering kita dengar. Budaya patriarki ialah budaya yang mana laki-laki sebagai subjek tertinggi dalam setiap tatanan sosial kehidupan. Budaya ini merupakan sistem sosiokultural yang kini tumbuh subur dalam setiap kebudayaan kita.
Menurut Bell Hooks (1952), budaya patriarki tidak memiliki gender (patriarchy has no gender). Pandangan ini sedikit mengundang perhatian pegiat feminisme, karena jika kita berkiblat pada pandangan Bell Hooks tersebut, maka sistem patriarki tidak hanya diperankan dan dikuasai oleh laki-laki, perempuan pun dapat mereproduksi nilai-nilai sistem tersebut karena suatu situasi, pengalaman, ataupun kultur yang ada disekitarnya.
Secara garis besar, patriarki terbagi menjadi dua, yaitu patriarki garis keras dan garis lunak. Patriarki garis keras adalah sistem dimana posisi laki-laki selalu berada di atas dan perempuan ditempatkan di bawah dalam setiap kehidupan. Dalam sistem ini, laki-laki menjadi subjek tunggal kehidupan dan perempuan hanya sebagai objek yang dipaksa tunduk dan patuh secara mutlak atas kehendak laki-laki.
Sedangkan patriarki garis lunak merupakan sistem dimana laki-laki dan perempuan sebagai subjek kehidupan, setiap keputusan akan diselesaikan dengan cara bersama-sama meskipun keputusan tersebut pada akhirnya tetap diputuskan oleh pihak laki-laki.
Lalu bagaimana supaya keduanya sama-sama adil tanpa menjadikan ‘kemanusiaan’ bagi salah satu dari keduanya lebih unggul? Dalam hal muamalah, baik laki-laki atau perempuan, keduanya seyogyanya sama-sama meyakini dan menyadari bahwa keduanya merupakan subyek utama sebagai manusia dalam setiap kehidupan. Apabila terdapat suatu perkara yang harus diputuskan, maka keputusan tersebut diambil dan dibuat secara bersama-sama.
Laki-laki atau perempuan sama-sama mempertimbangkan kondisi masing-masing, sehingga ‘kemanusiaan’ bagi laki-laki tidak serta merta menjadi kemashlahatan atau keadilan unggul yang mutlak bagi perempuan atau bahkan sebaliknya. Sehingga, dengan demikian, ukhuwah (persaudaraan) dapat terjalin, yang kemudian peradaban yang adil dan setara dapat terwujud.
Perempuan dan Laki-Laki serta Pentingnya Ber-ta’awun
Hal yang seringkali disalahpahami ialah terkait pemaknaan kitab suci Al-Qur’an yang selalu memanggil atau menjadikan laki-laki sebagai subjek yang selalu disebut secara tekstual. Hal tersebut menegaskan bahwa tidak semua orang dapat menterjemahkan Al-Quran secara tekstual, akan tetapi butuh ilmu pengetahuan yang luas dan bahkan pemahaman yang mendasar serta mendalam mengenai bahasa dan istilah-istilah yang ada di dalamnya. Begitu banyak ayat-ayat yang menggunakan struktur bahasa laki-laki secara tekstual, akan tetapi pada dasarnya memiliki makna seruan bagi keduanya.
Terdapat banyak sekali ayat-ayat tentang ajakan bertaqwa, beriman, berbuat adil, puasa, shalat, menuntut ilmu dan lain sebagainya. Setiap ajakan dan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an merupakan seruan bagi laki-laki dan perempuan. Islam hadir untuk laki-laki dan perempuan, bukan untuk salah satunya atau bahkan hanya memuliakan salah satunya saja.Sama sekali tidak membedakan jenis kelamin. Islam mengharuskan baik laki-laki atau perempuan untuk saling komitmen serta saling bantu membantu dalam hal kebaikan (ber-ta’awun).
Semangat Kesetaraan yang Berkemanusiaan
Secara biologi, laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan yang begitu mendasar. Namun, terdapat perbedaan yang secara sosial kehidupan bisa bersinergi. Perbedaan biologis antara keduanya bersifat universal yang merupakan pemberian dari Tuhan (given from God), dibawa sejak dalam kandungan serta tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan perbedaan sosial antara keduanya bersifat ikhtiyari atau bisa saja dipertukarkan, keadaannya relatif, bisa saja adil bahkan bisa juga tidak adil. Tergantung bagaimana dan dari mana kita memahami antara teks dan konteksnya.
Dari perbedaan tersbut, seyogyanya harus menjadi suatu keniscayaan untuk selalu mempertimbangkan segala bentuk kemanusiaan dan keadilan baik dari segi kebijakan, kearifan, kemaslahatan, keadilan sosial dengan pengalaman panjang antara keduanya. Sehingga nantinya, peradaban yang adil serta setara dapat terwujud supaya tidak ada yang melakukan keburukan satu sama lain, atau bahkan kekerasan dan kedzaliman dalam bentuk apapun dan atas nama apapun.
Islam hadir dengan misi keadilan untuk semesta, dan memberi tuntunan yang sangat jelas dalam hidup bermasyarakat. Jika salah satunya, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kelebihan dan keunggulan, bukan berarti yang lain lebih rendah atau dapat direndahkan. Kelebihan laki-laki dan perempuan patut dijadikan semangat agar dapat berkontribusi sesuai kapasitas serta kemampuannya. Dengan cara saling memahami, saling menghormati dan saling memuliakan satu sama lain yang didasari dengan semangat kemitraan dalam hal “amar ma’ruf nahi munkar“, maka keadilan hakiki bagi umat manusia dapat terwujud.
Selanjutnya, dalam mengobarkan semangat kesetaraan, sudah menjadi tugas dan kewajiban bagi kita semua untuk memberdayakan diri semaksimal mungkin dengan banyak melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks dan tafsir agama yang jauh bahkan melenceng dari pesan dan misi Islam itu sendiri. Penafsiran yang seringkali diselewengkan dan bahkan dimonopoli untuk menjustifikasi kepentingan suatu kelompok tertentu, karena sejatinya setiap manusia akan selalu tumbuh dan berkembang bukan hanya berdiam ketika banyak kekacauan terjadi.
Siapapun itu, bai laki-laki atau perempuan yang memiliki amal shalih, menebarkan kerahmatan bagi alam semesta, maka dialah yang nantinya akan mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan dan bahkan sebaik-baiknya ganjaran pahala di sisi Tuhan semesta alam. []