Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa basis utama perhatian kaum muslim progresif adalah prinsip Tauhid (Keesaan Tuhan) yang direpresentasikan dalam kata-kata “La Ilaha Illa Allah”.
Prinsip fundamental dan inti Islam ini, menurut Buya Husein, ingin menegaskan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah.
Pernyataan ini, kata Buya Husein, mengandung makna bahwa tidak ada di jagat raya ini, eksistensi pemilik otoritas absolut selain Tuhan, Allah.
Eksistensi kemaha tunggalan Tuhan tidak melulu diajukan dalam kerangka pemaknaan teosentrisnya, tetapi lebih dalam kerangka manusia dan kemanusiaan.
Dengan kata lain, Keesaan Tuhan harus menjadi landasan utama untuk tatakelola manusia dalam siklus kehidupan mereka di muka bumi ini.
Tauhid, bagi Buya Husein adalah jantung dan ruh Islam. Kepada-Nya lah seluruh gerak dan pemikiran manusia dilandaskan, diarahkan dan dipersembahkan.
Sementara itu, Sayyed Hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim terkemuka kelahiran Iran menyatakan: “Jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, Universalitas, Kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggungjawab manusia dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup”. (Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 2003).
Pemaknaan Tauhid seperti ini sejatinya mengandung gagasan pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan penindasan atas martabat manusia atas dasar apapun.
Pada sisi lain gagasan teologis ini hendak menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terhormat dengan konsekuensi keniscayaan bagi setiap individu atau kelompok manusia memandang sesamanya sebagai makhluk yang mandiri (bebas) dan dalam posisi yang setara serta memperlakukannya secara adil dan kesalingan proporsional.
Keadilan tidak bicara tubuh laki-laki atau perempuan, tetapi soal nilai-nilai dan kualitas-kualitas dalam diri yang dengannya tubuh memperoleh tempat dan peran yang tepat.
Keyakinan Tauhid dengan begitu mengharuskan kita menata kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam perspektif kemandirian (kebebasan), kesetaraan, keadilan dan kesalingan membagi kegembiraan.
Terma-terma tiga yang pertama ini disebutkan dalam teks otoritatif Islam: Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dalam porsi yang amat banyak.
Ketiganya (Kesetaraan, Kemandirian dan Keadilan) ini menjadi landasan untuk mewujudkan relasi kesalingan (resiprositi). Wacana ini sesungguhnya juga diisyaratkan dalam sejumlah teks-teks suci ini.
Satu di antaranya adalah: “Di antara tanda-tanda kemahabijaksanaan dan kemahagungan Allah adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan dari jenis yang sama denganmu agar kamu damai bersamanya. Dan Allah menjadikan kamu dan pasanganmu (untuk) saling mencinta dan saling menyayangi. Sesungguhnya pada semua hal ini ada tanda-tanda kemahabijaksanaan Allah bagi orang-orang yang berpikir”. (QS. al-Rum, 30:21).
Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi, mengatakan : “Aku, sungguh, ingin tampil menarik di hadapan isteriku, sebagaimana aku ingin isteriku tampil menarik di hadapanku”. (Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, No. 14505). (Rul)