Mubadalah.id – Pada sabtu (17/09), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kembali mengadakan acara Halaqah Regional Timur yang bertempat di Makassar, tepatnya di Hotel Golden Tulip Essential. Kegiatan yang dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali ini, adalah kegiatan pra Musyawarah Keagamaan KUPI, kali ini dalam rangka menyambut KUPI II yang bertempat di Semarang dan Jepara pada November mendatang.
Pertemuan pertama hari ini, kiai Imam Nakhe’i memberi sambutan dalam acara tersebut. Ia berbicara tentang urgensitas perempuan merebut tafsir yang selama ini digawangi para ulama laki-laki. Sebenarnya, ada banyak konsep dan contoh yang bisa kita sebutkan. Namun, dalam kesempatan tersebut, salah satu ulama perempuan asal Situbondo ini hanya membatasi dalam dua hal; (1) Tafsir ‘Arrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ dan (2) Memberi tafsir berdasarkan pengalaman perempuan.
Tafsir yang Melemahkan Perempuan
Mengingat, hal terbesar yang selama ini terpendam dan tidak terungkap, sehingga tidak kita sadari adalah tafsir yang jelas-jelas memarginalkan perempuan namun terbungkus dogma agama yang kuat dan ketaatan terhadap teks-teks syariat atas tafsir para ulama laki-laki.
Problem inilah yang sangat tidak menguntungkan perempuan. Dan, di saat yang bersamaan memberi ruang selebar-lebarnya kepada laki-laki dalam menciptakan penipuan-penipuan publik untuk merampas hak-hak perempuan.
“Tafsir seperti ini berbahaya sekali, sangat berbahaya,” kata kiai Nakhe’i dalam sambutannya.
Ia menjelaskan pelbagai macam bahaya yang muncul karena tafsir kejam tersebut. Seperti tafsir ayat, Ar-Rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’. Terlepas bagaimana terjemah al-Qur’an yang Kementrian Agama terbitkan. Tetapi yang jelas, tafsir penggalan awal surah an-Nisa’ (34) selama ini semakin memperkuat posisi lelaki sebagai makhluk superior, dan memaksa perempuan sebagai makhluk inferior.
“Ayat ‘ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’’ sebenarnya titik tekannya kepada laki-laki, tetapi mengapa setiap kali para tokoh agama atau laki-laki pada umumnya selalu menjadikan ayat ini untuk mengatur perempuan. Saat membaca ayat ini mereka mengatakan, ‘Berarti, perempuan harus ini, harus itu, dan seterusnya’,” jelas dosen Ma’had Aly Situbondo ini.
Kiai Nakhe’i melanjutkan, “Seharusnya, saat membaca ayat ini (penggalan awal surah an-Nisa’ (34)) mereka tidak mengatakan, ‘Perempuan harus ini dan itu, tetapi laki-laki harus begini dan begitu’,” ucapnya dengan tegas.
Ulama Perempuan Merebut Tafsir
Bagi kiai Imam Nakhe’i, para ulama perempuan harus mampu merebut tafsir-tafsir yang selama ini kaum lelaki yang memonopoli. Jika tidak kita rebut segera, nasib perempuan semakin tidak karuan. Terkoyak budaya patriarki yang semakin meruncing.
Selain itu, Imam Nakhe’i juga berbicara tentang bagaimana memberi tafsir berdasarkan pengalaman perempuan. Di mana, selama ini pengalaman perempuan selalu tidak dianggap serius. Sebut saja kajian fikih haid. Kajian fikih haid dewasa ini kerap kali tidak melibatkan perempuan. Padahal, untuk menentukan mana darah haid, istihadah dan seberapa lama estimasinya, harus melibatkan mereka.
“Karena kemaslahatan hakiki harus dengan memadukan ayat qur’aniyah dan ayat kauniyah. Maka melibatkan mereka dalam bidang apa pun harus kita lakukan. Inilah yang kita kenal dengan pengalaman perempuan,” pungkas kiai Nakhe’i.
Jadi, baik dalam urusan kewanitaan, rumah tangga maupun peran publik, para perempuan harus kita libatkan. []