Mubadalah.id – Kita terbiasa menormalkan, bahkan menikmati suara ledakan petasan. Kita menikmatinya setiap perayaan tahun baru, Ramadan, Hari Raya Idulfitri, atau peringatan hari besar lainnya. Jenis petasan ada beragam, meledak di darat, tidak disertai dengan warna, dan biasanya terbuat dengan menggunakan keterampilan tangan. Sedangkan kembang api terbuat sedemikian rupa, meledak di udara, disertai dengan warna-warna yang indah. Produksi petasan kembang api yang meledak di udara produksi dari pabrik dengan merk dan kode produksi yang resmi.
Suara petasan dapat menimbulkan trauma pada anak apabila suaranya cukup keras. Berisiko luka bakar apabila mengenai tubuh, karena petasan terbuat dari bahan utama bubuk mesiu. Sejenis bahan peledak yang terbuat dari campuran belerang, arang, dan kalium nitrat.
Bubuk mesiu ini menjadi bahan utama senjata api dan kembang api. Termasuk menjadi bahan baku senjata ledak seperti granat dan bom atom. Mesiu sebetulnya tercipta dari produk gagal, dibuat oleh ahli kimia Tiongkok pada abad ke-9.
Pada masa itu, pnggunaan zat ini untuk keperluan pengobatan medis. Kemudian seorang ilmuwan bereksperimen dengan mencampurkan potasium nitrat dengan belerang dan arang. Campuran tersebut menghasilkan asap dan api yang membuat terbakar wajah dan tangan para ilmuwan. Mengetahui temuan ini bisa menjadi senjata, pasukan militer Tiongkok pada Dinasti Song membuat senjata dari mesiu untuk melawan musuhnya yaitu bangsa Mongol.
Terjadi Ledakan Akibat Petasan
Pemberitaan terbaru kejadian ledakan akibat petasan yang menimpa beberapa rumah di Blitar. Akibat ledakan petasan, ada 25 rumah rusak, empat orang meninggal dan belasan korban luka. korban yang meninggal ditemukan dalam kondisi tubuh yang tercerai-berai. Setahun sebelumnya, juga ada orang meninggal akibat sedang meracik petasan sambil merokok, yaitu korban di daerah Tulungagung. Belum lagi seringnya pemberitaan jarinya putus, atau luka bakar di tubuh akibat petasan. Korbannya mulai dari anak-anak hingga dewasa, termasuk pelaku yang bahkan menjadi korban.
Kejadian tragis akibat ledakan petasan juga pernah terjadi, yaitu tragedi di Pemalang. Awalnya segerombolan pemuda menggotong petasan dengan ukuran besar. Petasan lalu dinyalakan dan saat gerombolan tersebut lari untuk menjauh dari petasan, terjadilah ledakan yang sangat besar. Akibat sumbu terlalu pendek, para pemuda tersebut terkena ledakan hingga tubuhnya tercerai berai dan meninggal.
Ada orang yang selamat namun dengan kondisi tubuh yang tidak lagi sempurna. Kejadian tersebut H-1 lebaran. Rentetan informasi ini mengingatkan, bahwa kebahagiaan semu dengan hiburan suara ledakan petasan tidak sebanding dengan luka bakar akibat ledakan. Bahkan sampai kehilangan nyawa manusia. Lalu mengapa masih saja ada orang yang suka bermain petasan?
Bahaya Petasan dan Larangannya
Maraknya bisnis rumahan dalam membuat petasan di setiap penyambutan bulan Ramadan, Hari Raya dan termasuk peringatan Tahun Baru, sudah dianggap tradisi. Di satu sisi bisa menghibur, sisi lain bisa menimbulkan kerusakan seperti luka bakar dan bahaya ledakan akibat petasan.
Petasan juga merusak lingkungan karena menghasilkan polusi udara setelah menyala. Petasan akan mengeluarkan berbagai zat sisa pembakaran berbahaya seperti sulfur dioksida, karbon monoksida, nitrogen monoksida, dan hidrokarbon ke udara. Zat pencemar bisa mengancam saluran napas, terutama bagi orang yang menderita gangguan pernafasan. Petasan juga menjadi sumber polusi suara karena menimbulkan suara bising yang mengganggu saat meledak. Bayangkan jika meledak di samping orang sakit, lansia atau bayi. Betapa sangat mengganggu bukan?
Pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan memainkan petasan sembarangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga melarang bermain petasan saat memperingati hari besar Islam. Begitupun larangan keluar dari organisasi masyarakat yaitu Nahdlatul Ulama (NU) juga telah mengharamkan petasan. Karena menilai tidak lagi bermanfaat. Awalnya memang boleh, namun penggunaan barang berbahaya itu menimbulkan banyak petaka yang kemudian menjadi haram.
Petasan di Mata Hukum Islam
Islam adalah agama yang membuka ruang manfaat dan menutup ruang kemudaratan kepada manusia. Hukum-hukum syariah cenderung kepada mengharamkan sesuatu perkara yang bisa mendatangkan kemudaratan. Semua penyelesaian berdasarkan pada asas kemaslahatan. Kerangka ini memunculkan hukum-hukum taklif yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan harus.
Mudarat adalah sesuatu yang mendatangkan bahaya atas keperluan asas manusia seperti agama, diri, keturunan, akal dan harta. Klasifikasi mudarat ialah mudarat kecil dan besar, mudarat khusus dan umum, dan mudarat jangka masa pendek dan panjang. Kemudaratan dihilangkan disebut “ الضرورة يزال “ yaitu suatu kaidah keempat dalam ilmu Qawaidul Fiqhiyyah.
Aplikasi kaidah ini adalah berprinsip demi menjaga kemaslahatan umat seluruhnya. Kemudharatan harus hilang melalui diri sendiri maupun orang lain. Ketika menghindari dari sebuah kemudharatan, jangan sampai memberikan mudharat orang lain. Sehingga dari qaidah di atas terbentuklah qaidah cabangnya, salah satunya yaitu “al-dhararu la yuzalu bi al-dharari”.
Terbentuknya qaidah yang berperan dalam menimbang hukum ini, tentu tidak luput dari dasar Al-Quran atau Hadis. Di mana yang menjadi dasar qaidah “al-dhararu la yuzalu bi al-dharar.”
Larangan Melakukan Kerusakan di Muka Bumi
Qaidah tersebut antara lain termaktub dalam surah Al-Qashas ayat 77 yang artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Artinya, berbuat baiklah kepada sesama makhluk Allah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.”
Kita sebagai manusia yang diberi akal yang sempurna, tidak boleh menjalani pekerjaan atau beraktifitas dengan membuat kerusakan di muka bumi dan berbuat jahat terhadap makhluk Allah. Pada hakikatnya setiap orang berhak melakukan aktivitas yang memberi manfaat kepada diri dan manusia lainnya.
Perbuatan yang kita lakukan harus terhindar dari unsur kerusakan dan kezaliman terhadap makhluk hidup lainnya. Kejadian meledaknya bubuk petasan di Blitar mencerminkan bahwa, pekerjaan membuat petasan sangat merugikan orang lain.
Akibat banyaknya angka permintaan yang melonjak naik di pasar di setiap peringatan hari besar, membuat orang tetap tergiur untuk berbisnis membuat petasan. Maka kita bisa memulai diri kita untuk berhenti menikmati suara petasan, berhenti membeli dan berhenti berbisnis petasan.
Hal ini demi memutus mata rantai produksi pembuatan petasan yang dampaknya lebih memberikan bahaya daripada membawa manfaat. Tradisi hiburan mencari kebahagiaan semu yang lebih banyak unsur perusakan dan merugikan daripada unsur kebaikan. Bermain petasan adalah sebuah tradisi yang tidak perlu dilestarikan, ذا اجتمع حظر و اباحة غلب جانب الحظر . Di satu sisi bisa menghibur, sisi lain bisa menimbulkan kerusakan seperti luka bakar dan bahaya ledakan akibat petasan []