Pada suatu malam, seorang teman mengirim pesan singkat. Isi pesan singkat itu berbunyi begini: “Menurutmu, benar ga sih hidup di dunia untuk mencari bekal di akhirat? Berarti, kita hidup mencari surga dong? Bukankah itu sesuatu yang egois?”
Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saya bingung. Karena jawaban dari pertanyaan itu pastinya tidak sependek pertanyaannya. Selain itu tidak mungkin pula saya menulis jawaban panjang melalui pesan pendek pula. Bisa bengkak jempolnya saya mengetik di handphone.
Sehingga saya merespon cepat dengan melontarkan jawaban singkat: “Hmmm panjang jawabannya. Justru dengan berharap surga manusia (jadi) ga egois. Karena masih ada Hari Pertanggung jawaban atas segala yang kita lakukan. Setidaknya levelnya itu sudah naik, dari khauf menuju roja’, semoga bisa melebur dalam mahabbah.”
Menyimak pertanyaan Si pengirim pesan di atas mengingatkan saya kepada perkataan seorang teman satu kelas di bangku kuliah. Dia menganalogikan hidup manusia di dunia ini tak jauh berbeda dengan hidupnya seekor ikan Lele di kolam air.
Kehidupan ikan Lele di kolam air begitu nyaman. Di kolam air, Ikan Lele hanya mengenal satu gambaran kehidupan, yaitu kehidupan sebagaimana di dalam air. Selain di dalam air, Ikan lele itu tidak punya pengetahuan apa pun tentang kehidupan di luar air. Karena semenjak lahir dia hanya kenal satu hal, yakni air yang membuatnya bertahan hidup.
Si Lele tidak pernah mengenal apa pun di luar air. Sehingga Si Lele tidak pernah terbayang dirinya bakal di gepruk batok kepalanya; disayat-sayat dan dipotong-potong tubuhnya; dikeluarkan semua isi perutnya; dilemparkan ke dalam minyak mendidih; di guyur sambal pedas lalu disantap. Intinya, Si Ikan Lele ini tidak pernah terbayang bahwa dirinya menjadi “Pecel Lele”.
Si Lele baru mengerti semua itu tatkala dia ketiban sial sebab terjerat oleh kail pancing. Tertarik keluar dari air lantas memasuki kehidupan yang asing. Dimana ia sulit untuk bernafas dan hanya bisa menggelepar tak berdaya. Saat itulah, Si Lele baru mengerti bahwa ada kehidupan selain kehidupan yang selama ini dia jalani.
Maa Ba’dal Maut
Dari cerita Si Lele bernasib sial yang menjadi “Pecel Lele” seperti d iatas hanya sekedar ingin beri’tibar soal preparation. Tegasnya, berbagai kemungkinan itu pasti ada. Sehingga bersiap terhadap sesuatu yang “mahjub” lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Persoalan maa ba’dal maut atau hal-hal berkaitan dengan masalah eskatologis pasca hidup yang fana ini adalah sebuah misteri ilahi. Pengetahuan kita tentang hal-hal eskatologis seperti ini lebih banyak bersumber dari teks-teks agama, terutama Kitab Suci. Disebut di situ, bahwa dunia ini tidak lebih dari sekedar penghampiran sementara dari sebuah perjalanan panjang. Muara perjalanan ini berada pada momen misterius yang disebut kehidupan akhirat.
Karena manusia itu ter-mahjub, maka kita seyogyanya mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti menjadi “Pecel Lele” seperti Si ikan di atas. Guna menghindari itu, maka upaya memenuhi ketersediaan logistik pahala di hari H mesti menjadi agenda utama hidup di dunia yang fana. Toh, tidak ada ruginya kan.
Dan sepertinya kurang tepat bila bertanya, soal apakah “benar” bahwa dunia itu sebagai wahana bagi manusia untuk berinvestasi di akhirat. Oleh sebab, hal itu adalah konsekuensi tak terhindarkan saat kita meyakini “kebenaran” tentang keberadaan kehidupan akhirat. Sebagai orang beragama, si penanya pastinya juga meyakini bahwa jiwa manusia setelah kematian ragawi akan terus berlanjut.
Karena meyakini keberlanjutan hidup, dimana segala perbuatan di kehidupan sebelumnya akan diminta pertanggung jawaban dan kadar kebahagiaan tergantung stok amal kebajikan, mau tidak mau seseorang juga terus berupaya memenuhi lumbung pahala guna antisipasi krisis ketersediaan logistik pahalanya. Kira-kira gambaran mudahnya seperti itu.
Lalu Egoiskah Kita Berharap Surga?
Seorang kawan menyampaikan jawabannya kepadaku. Dia mengatakan, berharap angin surga adalah sesuatu yang wajar. Secara, setiap orang kan ingin hidup bahagia. Harapan seperti itu, menurutnya, bukan sesuatu hal yang egois. Orang disebut egois, katanya, adalah jika orang itu berharap surga, tapi di sisi lain dia berharap orang lainnya masuk neraka, begitu tegasnya.
Dalam hubungan sesama manusia, jawaban itu sudah cukup memuaskan dalam hal konsepsinya tentang kebahagiaan. Yakni kebahagiaan memperoleh nikmat fasilitas surgawi dan kebahagiaan terhindar dari penderitaan jasmani seperti siksa di neraka. Begitupula konsepsinya tentang egoisme yang sejurus dengan kepentingan pribadi seseorang yang sempit.
Jawaban seperti itu, menurut Al-Ghazali, bersumber dari penafsiran secara harfiah terhadap teks-teks agama tentang persoalan akhirat. Oleh sebab, penafsiran harfiah mendorong seseorang untuk bertindak dengan niat dan tujuan untuk memperoleh kenikmatan atau menghindari penderitaan jasmani sebagai disebut di atas. Meski begitu, niat dan tujuan seperti itu tidak ada buruknya apabila dapat membantu seseorang untuk berbuat baik. Bahkan bukan tidak mungkin, niat dan tujuan tersebut dapat berperan sebagai pendorong motivasi moral yang lebih tinggi.
Akan tetapi, apabila seseorang berbuat baik hanya untuk memperoleh manfaat di akhirat, akan muncul aspek kepentingan pribadi seseorang yang tidak selayaknya. Dan pada hakikatnya, seseorang sebenarnya dapat bertindak dengan niat dan tujuan yang didorong oleh motif-motif spiritual yang lebih luhur. Oleh sebab itulah Al-Ghazali berujar, niat dan tujuan seorang Muslim yang taat seharusnya bersumber pada keinginan untuk ngawulo (menghamba) kepada Tuhannya.
Akhir kata, berharap surga bukan sesuatu yang buruk bilamana hal menjadi katalisator kebaikan bagi seseorang. Tetapi seyogyanya kita tidak berhenti pada kejasmanian kehidupan akhirat yang akan memunculkan harapan kepada sesuatu yang rendah. Karena ada harapan yang lebih luhur, yaitu harapan untuk Ngawulo kepada Sang Khaliq sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran. Apapun itu, Wa Allah-u a’lam bi al-Shawab. []