Mubadalah.id – Persoalan paling signifikan dalam relasi kehidupan laki-laki dan perempuan adalah bagaimana mewujudkan prinsip-prinsip agama, kemanusiaan atau akhlak karimah, kebaikan (ma’ruf) dan hak-hak asasi manusia.
Akhlak termanifestasi dalam terma-terma kesetaraan manusia, kebebasan, saling menghargai, penegakan keadilan dan kemaslahatan (kebaikan). Memang, terma-terma ini memiliki arti yang relatif.
Namun relatifitas ini justru menjadi dasar bagi kita untuk bisa merumuskan secara bersama-sama persoalan-persoalannya secara tepat dalam konteks dan situasi sosial kita masing-masing secara dinamis di bawah prinsip-prinsip kemanusiaan di atas.
Hal ini terlihat dengan jelas pada saat kita membaca ayat yang membicarakan relasi suami-istri. Atau lebih umum lagi tentang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga). Di situ al-Qur’an hampir selalu menyebut kata-kata bi al-ma’ruf, dengan cara yang baik atau patut. Misalnya:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya: “Dan pergaulilah mereka (para istri-mu) dengan cara yang baik dan patut”. (QS an-Nisa, 4: 19).
Kata ini jelas terkait dengan kata dasarnya, yaitu al-‘urf, yang berarti kebiasaan, tradisi. Para ahli menjelaskan bahwa ma’ruf adalah adat, kebiasaan atau tradisi yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan akal sehat, serta tidak menyimpang dari dasar-dasar agama.
Dengan begitu, maka ma’ruf merupakan kebaikan berdimensi lokal dan temporer, atau dalam bahasa populer, berdimensi kontekstual. Kalau demikian kebaikan jenis ini bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun tetap saja harus berada dalam frame (kerangka) akhlak karimah. []