• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Poligami di Indonesia Masih Marak

Dengan adanya kelas poligami di Indonesia tersebut, besar kemungkinan akan bertambahnya keluarga dengan status suami berpoligami. Kemungkinan juga dapat bertambah tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Hoerunnisa Hoerunnisa
16/12/2020
in Hukum Syariat, Kolom
0
Poligami di Indonesia

Poligami di Indonesia

382
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada  28 juni 2018 media sosial di hebohkan dengan pamflet yang bertemakan tentang ’’Kelas Poligami (cara cepat mendapatkan istri 4 )” pamflet tersebut diunggah oleh akun instagram @lambe_turah. Hal ini menunjukkan fakta bahwa poligami di Indonesia masih marak.

Kelas poligami tersebut akan diisi oleh beberapa praktisi Hafidin, Ustaz Andi Arthin Lc. Ma, dan Vicky Abu Syamil. Pihak panitia penyelengga menyiapkan kuota untuk 20 peserta dengan membayar sebanyak Rp 3,5 juta untuk peserta laki-laki dan 1,5 juta untuk peserta perempuan.

Dengan adanya kelas poligami di Indonesia tersebut, besar kemungkinan akan bertambahnya keluarga dengan status suami berpoligami. Kemungkinan juga dapat bertambah tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut dikatakan juga oleh Nina Nurmila, seorang Guru Besar Ilmu Fiqh UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang telah melakukan penelitian dengan terfokus pada perkawinan poligami di Indonesia.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh Nina dalam praktek poligami di Indonesia, banyak istri yang merasa dikesampingkan secara emosional dan finansial. Bukan hanya itu, perempuan yang menjadi istri kedua rata-rata dinikahi secara siri, yang berarti mereka tidak mempunyai perlindungan hukum ketika terjadi perselisihan.

Indriyati Suparno, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan kepada DW, Komisi Nasional Perempuan menganalisa kasus-kasus poligami di Indonesia dari berbagai sumber, salah satunya adalah Pengadilan Agama. Dari hasil penelitian data putusan Menteri Agama, ada yang dikategorikan sebagai “Poligami tidak sehat” di dalamnya merupakan unsur-unsur kekerasan dalam rumah tangga terpenuhi.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Misalnya ada kekerasan fisik, seksual, psikologis yang bermacam-macam, mulai dari ancaman atau pemaksaan untuk menyetujui pasangannya melakukan pernikahan lagi. Pengadilan Agama juga sudah mencantumkan poligami sebagai salah satu penyebab perceraian.

Melihat fakta yang terjadi dari praktek poligami, menjadikan  ketentraman (Sakinnah) dan memadu cinta kasih (Mawaddah Wa Rohmah) sebagai nilai dasar dan tujuan pernikahan  sangat sulit dicapai. Poligami di Indonesia ini cukup menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat, disamping poligami dianggap merupakan salah satu sunah Rasul yang sayangnya masih diyakini oleh sebagian umat Islam.

Tetapi di samping itu fakta menyebutkan poligami ini banyak menimbulkan dampak negatif khususnya bagi perempuan dan anak. Lantas dimana letak kesalahnnya? dan bagaimana cara menyikapinya agar terhindar dari kemadharatan? terlebih perempuan dan laki-laki sama-sama harus merasakan manfaat relasi pernikahan.

Berikut legitamasi poligami sebagai sunah rasul adalah Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3, yaitu :

وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ‌ ‌ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ‌ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا

“dan jika kamu takut tidak mampu berbuat adil kepada anak-anak yatim (perempuan, jika kalian nikahi mereka, karena mereka lemah dan tidak ada yang membela) maka nikahi saja perempuan-perempuan lain bisa dua, tiga, atau empat, tetapi, jika kalian takut tidak mampu berbuat adil (dengan menikah lebih satu perempuan ) maka nikahilah satu (perempuan saja). Karena hal itu (menikah satu perempuan) lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya (kedada para perempuan dan anak-anak). (QS. An-Nisaa’ [4] : 3)

Jika ayat tersebut dibaca hanya dengan kacamata lak-laki saja, maka kebermanfaatan hanya akan dirasakan oleh laki-laki saja, sehingga akan menghasilkan tafsir yang sangat patriarki. Saya meyakini Islam itu sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan kemaslahatan, untuk itu perlu pembacaan teks dengan menggunakan kacamata yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan sabagai subjek teks. Karena laki-laki dan perempuan sama-sama disapa oleh teks islam.

Contoh halnya seperti salah satu ustaz dikampung saya, dia berkata “poligami itu sunnah rasul, jadi para istri harus sabar dan ikhlas karena itu jalan menuju surga.” Jika dilihat dari narasi ustaz ini, terlihat jelas bahwa ada relasi kuasa dalam rumah tangga. Artinya dalam konteks ini perempuan dibawah kuasa laki-laki, padahal dalam relasi pernikahan perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai subjek.

Sangat tidak adil jika hanya perempuan yang di perintahkan sabar menghadapi konflik dalam rumah tangga,  jika kesabaran adalah perilaku yang baik dan mulia serta para pelakunya akan dicintai oleh Allah SWT, maka tidak hanya perempuan yang dituntut bersabar dari suami yang akan atau sudah poligami, tapi suami juga harus bersabar dan tidak memilih poligami agar menjadi manusia yang dicintai oleh Allah SWT. Begitupun, jika kesetiaan adalah suatu kebaikan dan islami, maka tidak hanya perempuan yang dintuntut setia dan melayani suami, tetapi suami juga dituntut hal yang sama yaitu setia dan melayani istri.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir , dalam bukunya “Qiraah Mubadalah” dengan menggunakan pembacaan teks metode mubadalah menjelaskan bahwa QS An-Nisaa’ [4] : 3 memiliki empat penggalan yaitu : Pertama, menjauhi penzhaliman anak-anak yatim dengan tidak menikahi mereka ; Kedua, tetapi menikahi perempuan lain bisa dua, tiga, atau empat ; Ketiga, itupun kalau khawatir tidak adil, satu istri saja ; keempat, karena satu istri lebih dekat untuk tidak zhalim atau berperilaku buruk.

Keempat penggalan tersebuat  berada dalam satu nafas ayat yang biasanya menjadi dasar kebolehan poligami. Padahal, kebolehan ini dipagari oleh keadilan dan kewaspadaan berbuat zhalim. Prinsip berpasangan ini juga sangat jelas digambarkan oleh ungkapan Al-Qur’an bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami atau hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna (QS. Al-Baqarah [2]: 187.

Gambaran sebagai pakaian tentu saja setidaknya untuk mengingatkan bahwa fungsi suami dan istri sebagai pasangan adalah untuk saling menghangatkan, memelihara, mengasihi, menutupi, menyempurnakan dan memuliakan satu sama lain.

Faqihuddin juga menegaskan bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk menolak poligami dengan basis menjauhi diri dari kerusakan dan madharat, yang akan menimpa dirinya atau keluarganya. Baik yang bersifat fisik, psikis, ekonomi, maupun sosial. Basis ini sesuai dengan anjuran Al-Qur’an untuk tidak menjatuhkan diri pada kehancuran (QS. al-Baqarah [2]: 195).

Selain itu, juga  sesuai dengan anjuran dan teladan Fatimah Ra putri Nabi Muhammad Saw yang secara tegas menolak rencana poligami Ali Ra tersebut.  (Shahih Bukhari, no.5285)

Dalam konteks sekarang, Kalis Mardiasih seorang penulis opini dan aktivis muda Nahdatul ‘Ulama (NU) menyatakan dengan tegas dalam bukunya “ Muslimah yang diperdebatkan”  poligami boleh ditolak, karena Rasulullah Sa, berpoligami pada sepuluh tahun terakhir periode dakwahnya disebabkan banyak terjadi peperangan.

Pilihan Nabi untuk menikahi janda-janda pada fase itu menerangkan fase sosial yang khas. Dan menurutnya pada fase kini tidak terjadi situasi khas seperti pada zaman Nabi Muhammad Saw. Begitupun diungkapkan oleh Amina Wadud Muhsin seorang filsuf Muslim asal Amerika dalam bukunya yang berjudul “Wanita di dalam Al-Qur’an” . Menurut beliau terdapat beberapa poin prihal sudah tidak bisa digunakan lagi alasan untuk poligami, yaitu sebagai berikut :

Pertama, alasan poligami adalah finansial. Untuk konteks dulu bagi laki-laki yang mampu secara finansial dianjurkan untuk menghidupi lebih dari satu istri. Di sini terlihat  jelas bahwa perempuan sebagai beban finansial, bisa bereproduksi tetapi tidak produktif.

Dalam konteks sekarang banyak perempuan yang sudah tidak perlu dukungan kaum laki-laki, anggapan lama bahwa hanya laki-laki yang bisa bekerja dan produktif sudah tidak berlaku lagi. Karena perempuan sudah mandiri dalam finansial. Jadi poligami tidak lagi merupakan suatu solusi sederhana untuk menyelesaikan kerumitan dalam ekonomi.

Kedua, alasan selanjutnya yaitu perempuan yang dinikahinya tidak mampu memiliki anak. Padahal alasan ini tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an sebagai alasan untuk memperbolehkan poligami. Memang keinginan memiliki anak adalah sesuatu yang alamiah.

Tapi ketika suami atau istri mandul bukan berarti suami mempunyai kesempatan untuk menikah lagi, dan bukan berarti suami istri tidak bisa memelihara dan membesarkan anak-anak. Banyak kok anak di panti asuhan yang bisa  kita adopsi sebagai anak tanpa harus menyakiti salah satu pasangan. Hal itu justru memberi kebermanfaatan untuk orang lain.

Ketiga, alasan selanjutnya adalah, menurut beliau perilaku poligami jelas bukan perilaku yang Qur’ani karena hal tersebut merupakan upaya untuk mendukung nafsu tak terkendali laki-laki. Jika nafsu laki-laki tidak bisa dipenuhi oleh satu istri, apakah sebaiknya mempunyai dua istri? Jika nafsu laki-laki tidak bisa dipenuhi oleh dua perempuan, apakah harus tiga istri? Jika nafsu laki-laki tidak bisa dipenuhi oleh tiga istri, hingga akhirnya mempunyai empat istri. Begitukah?

Pengendalian diri dan ketaatan sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh istri saja, nilai-nilai moral ini juga sama pentingnya untuk para suami sebagai syarat terciptanya keluarga yang Sakinnah Mawaddah Wa Rahmah. Suami dan istri saling memberikan manfaat kepada pasangannya dan saling merasakan manfaat dari pasangannya.  Tentu saja pernikahan monogami lebih mendekatkan keluarga pada perdamaian [].

Tags: amina wadudFaqihuddin Abdul Kodirislamkalis mardiasihKelas PoligamipoligamiQira'ah Mubadalah
Hoerunnisa

Hoerunnisa

Perempuan asal garut selatan dan sekarang tergabung dalam komunitas Puan menulis

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version