Mubadalah.id – Pertengahan Desember 2019, saya dan dua perempuan Iran melakukan perjalanan ke Damghan, kota penghasil kacang pistasio yang terletak di Timur Tehran. Ini pertama kalinya saya traveling tanpa keluarga. Anggap saja semacam hadiah hari perempuan Indonesia yang datang setiap tanggal 22 Desember.
Alaleh dan Shahzad, keduanya juga pergi tanpa anak dan suami. Kami menikmati ‘me time’ yang cukup berkualitas. Perjalanan dari Tehran ke Damghan sendiri harus ditempuh sekitar enam jam menggunakan mobil pribadi. Alaleh yang sehari-hari bekerja di lab, mengemudikan mobil dengan santai melewati jalanan berkelok dengan latar pegunungan bersalju.
Rasanya saya sedang tidak berada di Iran. Sesekali, dia menghentikan mobilnya di sebuah kedai makanan untuk memesan semangkuk Ash (sup campuran aneka sayuran dan kacang-kacangan). Sup hangat ini sangat cocok dinikmati di tengah cuaca bersalju musim dingin.
Kami, tiga perempuan dengan latar belakang dan profesi yang berlainan, disatukan oleh hobi traveling. Berbeda dengan Alaleh yang periang namun tegas, Shahzad tampak lebih kalem dan mengayomi. Mungkin, sebagai konseling pernikahan, ia terbiasa menghadapi banyak klien dari berbagai latar belakang.
Tiga hari melakukan perjalanan bersama, membuat kami banyak belajar dari satu sama lain. Di sela-sela mengunjungi tempat bersejarah, kami saling berbagi cerita. Tentu saya juga tak melewatkan kesempatan berharga untuk mengenal lebih jauh tentang budaya mereka, terutama seputar isu perempuan.
Bicara soal perempuan Iran, rasanya tak lengkap tanpa menyebut kata mahar pernikahan. Ya, mahar atau mas kawin menjadi topik yang cukup menarik diperbincangkan dalam kultur masyarakat Iran. Pada saat lamaran, kedua calon pasangan dan keluarga besar mereka membicarakan serius perihal mahar pernikahan yang harus diberikan dari calon laki-laki kepada mempelai perempuan. Jumlahnya pun tidak main-main.
Mahar pernikahan di Iran biasanya diberikan dalam bentuk koin emas. Satu koin bernilai sekitar enam juta rupiah. Menurut riset beberapa tahun belakangan ini, rata-rata mahar yang diminta perempuan Iran antara 300 sampai 450 koin. Silahkan dihitung sendiri.
Awalnya, saya agak risih mendengar soal ‘transaksi’ mahar pernikahan ini. Karena budaya tempat asal saya memang tidak menganut model seperti ini. Perlahan saya mulai menyadari pribahasa “lain ladang lain belalang” lain tempat lain pula budaya yang dianut. Apalagi aturan mahar pernikahan dalam Islam memang tidak ditetapkan secara detail jumlah dan mekanismenya, sehingga penerapannya dapat disesuaikan dengan budaya setempat.
Dalam kultur masyarakat Iran, mahar pernikahan memiliki arti penting dalam sebuah ikatan pernikahan.
Menariknya, meskipun mahar di Iran sangat tinggi, tetapi tidak dibayarkan tunai pada waktu akad pernikahan. Ia menjadi semacam penjamin dan harus dibayar lunas ketika terjadi perceraian. Para suami dapat dituntut ke pengadilan dan divonis hukuman penjara jika tidak melunasi mahar pada saat terjadi perceraian. Persoalan ini memang kerap menyisakan sengketa antar keluarga pasca perceraian.
Pada tahun 2012 ditetapkan undang-undang perlindungan keluarga yang menengahi sengketa ini dengan menetapkan jumlah maksimal secara hukum yang harus dibayarkan pihak laki-laki, yaitu tidak lebih besar dari 110 koin emas atau sekitar 660 juta rupiah. Misalnya, mahar pernikahan yang diminta seorang perempuan sebesar 300 koin, yang berhak dituntut secara hukum tidak lebih dari 110 koin.
Dengan menetapkan mahar pernikahan yang tinggi, pihak keluarga perempuan berharap anaknya mendapat perlindungan dari persoalan kekerasan dan praktik poligami. Para suami akan berpikir ulang untuk melakukan poligami, selain mereka harus menyepakati mahar pernikahan dengan perempuan lain yang jumlahnya besar, mereka juga menghadapi gugutan perceraian yang berarti harus melunasi mahar kepada istri pertama.
Di sisi lain, mahar pernikahan tinggi bagi perempuan dapat menjadi support ekonomi jika terjadi perceraian. Tujuan pernikahan memang menyatukan dua orang yang saling mencintai untuk selalu bersama. Namun, tidak semua pernikahan berjalan sesuai dengan harapan. Ada banyak pasangan yang harus mengakhiri di tengah jalan karena berbagai faktor. Pada sistem sosial di mana laki-laki sebagai pencari nafkah utama, perceraian acap kali meninggalkan masalah ekonomi bagi perempuan.
Namun tingginya mahar pernikahan juga menyisakan berbagai masalah sosial. Di antaranya, keengganan pasangan muda mudi untuk segera menikah, belum lagi melebarnya persengketaan di kalangan keluarga pasca perceraian. Para pengambil kebijakan di Iran sendiri, masih terus mengkaji ulang aturan mahar tinggi yang sudah membudaya ini. Meskipun dalam prakteknya, ada juga istri yang menghibahkan maharnya atau mengikhlaskan maharnya ketika mendapati sang suami memang benar-benar bertanggung jawab.
Tentu saja, mahar pernikahan sesungguhnya adalah kepercayaan dan cinta kasih. Karena jika melihat filosofis awal adanya mahar pernikahan itu, untuk memperkuat ikatan suami istri. Tetapi tidak ada salahnya, bagi calon istri mensyaratkan mahar pernikahan tinggi sebagai jaminan, selama masih dalam batas rasional.
Karena, secara fakta sosial, banyak kasus perceraian yang berujung pada ketidakadilan ekonomi bagi perempuan. Atau tak jarang para perempuan yang terpaksa bertahan menghadapi kekerasan pasangan, hanya karena ketergantungan masalah ekonomi. Akhir kata, selamat hari Ibu dan hari perempuan, karena bagi saya setiap perempuan adalah ibu dalam lingkungan sosial terkecilnya, meski mungkin belum menjadi Ibu secara biologis. []