• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Perempuan tidak Diciptakan Tuhan untuk Berotak Tumpul

Alasan paling mendasar mereka adalah dengan dalih, bahwa “agama” memosisikan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Nyatanya hal ini bukan diakibatkan kemutlakan dari agama, hanya saja peran dari pemahaman manusia atas agama yang terlanjur diproduksi melalui sudut pandang patriarki.

Karina Rahmi ST Farhani Karina Rahmi ST Farhani
17/08/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Perempuan

Perempuan

234
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Isu kesetaraan gender selamanya akan menjadi isu yang tidak akan dengan mudah diterima oleh beberapa kelompok. Alasan paling mendasar mereka adalah dengan dalih, bahwa “agama” memosisikan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Nyatanya hal ini bukan diakibatkan kemutlakan dari agama, hanya saja peran dari pemahaman manusia atas agama yang terlanjur diproduksi melalui sudut pandang patriarki.

Melawan sistem patriarki layaknya menemukan jarum dalam tumpukan jerami. Alternatif yang hari ini mulai dimunculkan adalah melalui pemberdayaan kaum perempuan. Sebagai kaum yang lebih banyak menjadi korban dari bengisnya sistem patriarki, perempuan patut untuk diberdayakan. Terdapat banyak cara yang bisa diupayakan, salah satunya melalui pendidikan. Karena itu, pendidikan dapat dijadikan tolak ukur  bagaimana selanjutnya kaum perempuan dibentuk secara progresif, atau malah normatif.

Setiap agama tentunya memiliki pola pendidikan yang ramah akan keadilan. Islam sebagai salah satu entitasnya, juga hadir dengan konsep keadilan bagi para pemeluknya. Berangkat dari isu pemahaman keagamaan dan pemberdayaan perempuan yang hari ini banyak dijadikan legitimasi penindasan perempuan karena sistem patriarki, figur istri Nabi dapat dijadikan role model dalam hal pendidikan perempuan dalam Islam. Sebagai circle kalangan perempuan terdekat Nabi, sosok istri menjadi salah satu indikasi bagaimana Nabi mendidik dan memberikan pengajaran bagi kaum perempuan.

Aisyah Binti Abu Bakar, istri Nabi yang didokumentasikan dalam sejarah Islam bahkan dunia sebagai sosok perempuan cerdas pada masanya. Kualitas intelektual Aisyah bahkan mengalahkan kaum laki-laki kala itu. Walaupun perempuan pada saat itu tetap tidak memiliki kesempatan untuk berguru hingga melintasi benua layaknya kaum laki-laki. Namun, kondisi tersebut tidak menjadikan Aisyah hadir sebagai perempuan berotak tumpul, justru kebersamaannya dengan Nabi menjadi kesempatan belajar baginya.

Sebelum menikah dengan Nabi, Aisyah memang sudah piawai dalam hal bersyair. Hal ini ditopang dari lingkungan tempat Aisyah dibesarkan, yakni masyarakat Arab Badui yang masih merawat tradisi periwayatan syair. Juga sosok sang ayah yang dikenal akan kecintaannya terhadap keindahan syair. Salah satu ayat yang ditafsirkan oleh Aisyah berdasar kepada kapabilitas kebahasaannya adalah kata qurū’ dalam QS. Al-Baqarah ayat 228.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Para Sahabat memahami kata qurū’ tersebut dengan makna haid. Sedangkan, Aisyah memberikan penjelasan dengan mengaitkan pada penggunaan kata qurū’ dalam linguistik bangsa Arab yakni aqra’a al-najm (ketika bintang terbit dan tenggelam), dan aqra’at al-rihu (ketika angin telah berhembus dan ketika akan berhembus), yakni bersih atau suci. Sebab itu, perihal talak dan cerai pun dihitung ketika suci, bukan haid. Akhirnya, pendapat Aisyah inilah yang banyak dinukil oleh ulama selanjutnya.

Berbicara tentang Aisyah, tidak hanya berhenti dalam obrolan mengenai keahliannya menghafal ribuan hadis, namun juga penguasaannya terhadap ilmu sejarah, ilmu pengobatan hingga tafsir pun menjadi bidang ilmu yang dipelajarinya. Tak heran jika Aisyah dikenal juga sebagai guru para Sahabat, dan penjelasannya menjadi rujukan hukum, terutama yang berkaitan dengan kehidupan pribadi serta rumah tangga Nabi.

Menarik untuk diulas, salah satunya berkaitan dengan kecerdasan Aisyah dalam menghasilkan hukum. Suatu ketika, di rumah Nabi dan Aisyah kehabisan persediaan bahan pangan, hingga akhirnya Nabi memutuskan berpuasa hari itu. situasi krisis rumah tangganya tersebut tidak lantas menjadikan Aisyah berkeluh kesah karena serba kekurangan. Namun yang dilakukan Aisyah justru menjadikan kondisi tersebut sebagai indikasi hukum, yakni ketika seorang Sahabat bertanya kepada Aisyah, “apakah boleh menunaikan puasa tanpa sahur?”. Berkaca kepada peristiwa saat itu, Aisyah menjawab “boleh”, sebagaimana yang Nabi lakukan.

Kecakapan Aisyah dalam melahirkan suatu hukum disebut sebagai tafsīr bi al-sunnah al-waṣfiyyah atau suatu metode penafsiran dengan menggunakan sunah deskriptif. Riwayat lain yang serupa adalah ketika Aisyah dan Nabi mandi dalam satu tempat, sedangkan Aisyah dalam keadaan haid. Momen ini menjadi isyarat bahwa darah haid seorang perempuan tidak menyebabkan seseorang lainnya harus mandi wajib jika dikenai darah tersebut.

Terlihat bagaimana Aisyah bijak dalam mengolah suatu peristiwa menjadi sinyal hukum bagi umat manusia. Aisyah menunjukan bahwa perempuan bisa mengupayakan potensi dari Tuhan seperti layaknya laki-laki, bahkan jauh lebih baik dan kritis. Dalam hal kegigihan karakter pun, Aisyah menampilkan sisi lain dari kebiasaan pandangan masyarakat kepada kaum perempuan. Sebut saja bagaimana Aisyah berkarir dalam perpolitikan Arab dengan keikutsertaannya dalam sejumlah perang.

Tradisi perang di wilayah Arab secara konstruk sosial hanya melibatkan laki-laki dalam menghadapi lawan secara langsung. Sedangkan tempat bagi kaum perempuan ketika perang berlangsung adalah sebagai penyedia makan, minum dan obat-obatan, namun Aisyah turun ke medan perang untuk ikut memerangi lawan. Tak henti sampai di situ, puncak kontribusinya dalam dunia politik Arab adalah ketika ia memimpin perang Jamal.

Aisyah telah muncul sebagai figur perempuan progresif dalam hal daya intelektual juga karakter diri. Sayangnya, wacana yang diproduksi oleh sistem patriarki justru sebaliknya. Pemahaman umat manusia digiring kepada paradigma bahwa perempuan hanyalah makhluk lemah, sumber fitnah atau bahkan objek seksual yang layak untuk diperdaya.

Konstruk ini berdampak pada bagaimana ruang disediakan bagi perempuan mengaktualisasikan dirinya. Dari sinilah dapat diukur apakah pendidikan bagi perempuan tersebut tergolong progresif, sebagaimana Nabi mendidik para istrinya, atau malah menjadi pendidikan normatif yang serba membatasi perempuan. []

Tags: GenderkeadilanKesetaraanKisah Nabiperempuanulama perempuan
Karina Rahmi ST Farhani

Karina Rahmi ST Farhani

Perempuan asal Garut. Mahasiswi Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal - LPDP . Menekuni kajian Keislaman-Keperempuanan

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID