• Login
  • Register
Senin, 27 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan Gerakannya dalam Emansipasi Perempuan Indonesia

RM Tirto Adhi Soerjo mendirikan Poetri Hindia yang sekaligus terbit perdana pada tanggal 1 Juni 1908 di Batavia (Jakarta). Saat itu, Poetri Hindia menjadi koran pertama di Indonesia yang khusus ditujukan untuk kaum perempuan

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
22/06/2022
in Figur
0
Emansipasi Perempuan

Emansipasi Perempuan

170
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bagi para pecinta novel Pramoedya Ananta Toer (Pram), tentunya tidak akan asing dengan sosok ‘Minke’ di dalam bukunya yang berjudul “Bumi Manusia”. Melalui novel setebal 535 halaman tersebut, Pram terinspirasi menghidupkan tokoh Raden Mas (RM) Tirto Adhi Soerjo melalui sosok Minke sebagai penggerak emansipasi perempuan di Indonesia.

Tulisan ini tidak akan membahas ataupun membuat resensi dari Novel Pram yang diterbitkan tahun 1980 tersebut. Namun, saya bermaksud mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan tokoh RM Tirto Adi Soerjo. Nama RM Tirto ini terabadikan dalam karya Pram melalui sosok Minke, serta gerakannya mendorong emansipasi perempuan Indonesia.

Daftar Isi

    • Siapa RM Tirto Adi Soerjo?
  • Baca Juga:
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI
    • Poetri Hindia: Gebrakan Baru Jurnalis Perempuan
    • Gerakan Emansipasi Perempuan
    • Tantangan Mewujudkan Kesetaraan di Dunia Jurnalistik

Siapa RM Tirto Adi Soerjo?

Menurut Darwati (2022), dalam bukunya yang berjudul: “Nasionalisme dan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia”, RM Tirto Adi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880 dengan nama kecil RM Djokomono. Dia merupakan putra dari Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro dan cucu dari Raden Mas Tumenggung Tirtonoto.

RM Tirto Adi Soerjo merupakan ‘Bapak Pers Nasional’. Ia merupakan orang pertama dalam sejarah Indonesia yang merintis penggunaan surat kabar sebagai alat advokasi rakyat dan pembentuk pendapat umum. Sejak usia muda, Ia sering mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa surat kabar berbahasa Jawa dan Belanda. Ia juga pernah membantu di koran ‘Chabar Hindia Olanda’ pimpinan Alex Regensburgh selama dua tahun, sebelum akhirnya pindah menjadi Redaktur ‘Pemberita Betawi’ yang pimpinan F. Wriggers.

Ketika tinggal di Bandung, RM Tirto Adi Soerjo mendirikan tiga surat kabar yaitu Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908). Kemudian pada tahun 1909, Poetri Hindia menjadi surat kabar pertama yang mendapatkan apresiasi dari Ratu Emma, permaisuri almarhum Raja Willem III atau ibunda penguasa Kerajaan Belanda, Sri Ratu Wilhelmina. Seperti diilansir Kompas.com (09/02/2022).

Baca Juga:

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Poetri Hindia: Gebrakan Baru Jurnalis Perempuan

RM Tirto Adhi Soerjo mendirikan Poetri Hindia yang sekaligus terbit perdana pada tanggal 1 Juni 1908 di Batavia (Jakarta). Saat itu, Poetri Hindia menjadi koran pertama di Indonesia yang khusus ditujukan untuk kaum perempuan.

Kehadiran Poetri Hindia merupakan gebrakan baru bagi pers ‘bumiputera’ yang saat itu media-media yang bercorak ‘maskulin’ mulai mendominasi. Bahkan, apresiasi terhadap Poetri Hindia tidak hanya muncul dari tanah air, tetapi juga dari luar negeri pun turut menyambut baik kehadirannya. Salah satunya ialah ‘Nieuw Controul’. Surat kabar terbitan ’s-Gravenhage, Belanda tersebut beberapa kali memuat informasi dan laporan tentang Poetri Hindia.

Misalnya, seperti Pram tulis dalam novelnya yang berjudul: “Sang Pemula” (2004: 113), Nieuw Controul menulis: “Berkala tengah-bulanan ini bukan asing lagi bagi pembaca kita, sudah beberapa kali kita memberitakan tentangnya. Ia dibaca dari Sabang sampai Merauke. Pembaca wanitanya tidak hanya di Jawa dan Madura, juga di Sumatera, Borneo, Celebes, dan Maluku, bahkan di Kesultanan Johor dan negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka.”

Prof. Ana Nadhya Abrar, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Kajian Jurnalisme, yang kemudian dibukukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dengan judul: “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi” (2022), menjelaskan bahwa sebagian besar, Poetri Hindia mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan kaum perempuan, baik anak-anak, remaja, maupun ibu-ibu.

Salah satu contohnya ialah adanya rubrik “Perempuan Hindia”, “Perawatan Kecantikan”, “Pemeliharaan Anak”, serta artikel lainnya seputar tata cara dan etika dalam berkeluarga. Selain itu, terdapat juga rubrik cerita pendek, hikayat, serta artikel-artikel hiburan lainnya.

Meskipun saat itu Poetri Hindia belum banyak membahas terkait kesadaran perempuan sebagai subjek atau pelaku pergerakan. Namun keberadaan kaum perempuan dalam media ini telah menunjukkan perempuan juga memliki peran publik, dalam hal ini sebagai pewarta.

Gerakan Emansipasi Perempuan

Pada awal masa pergerakan nasional (seiring lahirnya Boedi Oetomo: 1908), belum ada gerakan sosial untuk emansipasi yang perempuan lakukan atas gagasannya sendiri, termasuk dalam sektor jurnalistik yang murni  kaum perempuan pribumi miliki.

Menurut Muhidin M. Dahlan (2008), dalam bukunya yang berjudul: “Karya-Karya Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan”, meskipun saat itu sudah ada sekitar 12 orang istri bupati di Jawa yang pandai menulis serta berbicara bahasa Belanda, mendirikan dan mendukung sekolah wanita, serta menulis artikel di koran, namun belum bisa tersebut dengan gagasan lahirnya gerakan perempuan.

Baru setelah RM Tirto Adhi Soerjo mendirikan Poetri Hindia pada tahun 1908, gerakan emansipasi perempuan mulai dapat terlihat secara nyata. Reni Nuryanti (2008), dalam tulisannya yang berjudul: “Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa”, menjelaskan bahwa Poetri Hindia merupakan wadah bagi jurnalis perempuan generasi awal untuk menempa diri.

Poetri Hindia merupakan surat kabar pertama yang bagi kaum perempuan, bahkan juga terkelola langsung oleh para perempuan hebat. Seperti penjelasan Maman S. Mahayana (2003) dalam tulisannya yang berjudul: “Majalah Wanita Awal Abad ke-20: Corong Ide Emansipasi”.

Hal itu bisa terlihat dari susunan redaksi Poetri Hindia Nomor 1 Tahun ke-3 (1910). Terdapat nama-nama yang berasal dari berbagai daerah, seperti: R.A. Hendraningrat (Tangerang), R.A. Tjokroadikoesoemo (Cianjur), Siti Habiba (Bogor), Raden Fatimah (Bogor), R.A. Mangkoedimedjo (Yogyakarta), dan S.N. Norhar Salim (Bukittinggi), serta redaktur dan jurnalis perempuan lainya.

Poetri Hindia kemudian redup karena R.M. Tirto Adhi Soerjo seringkali mengkritik pejabat kolonial maupun pribumi melalui tulisan-tulisannya. Ia diajukan ke pengadilan dan mendapat hukuman pembuangan ke Maluku pada Desember 1913.

Ia kemudian meninggal dunia pada 7 Desember 1918 di Batavia beberapa saat setelah kembali dari pengasingannya. Saat ini, Nama R.M. Tirto Adhi Soerjo telah terabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota Bogor, dan peresmiannya oleh Walikota Bogor, Bima Arya, bertepatan dengan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November 2021 lalu.

Tantangan Mewujudkan Kesetaraan di Dunia Jurnalistik

Saat ini, sekitar 114 tahun semenjak lahirnya Poetri Hindia, Indonesia belum memiliki regulasi secara khusus terhadap perlindungan jurnalis perempuan dari berbagai kekerasan yang bisa saja menimpa mereka. Meskipun sudah mulai banyak perempuan yang berkarir di dunia jurnalistik. Namun, masih marak jurnalis perempuan yang rentan terkena diskriminasi serta pelecehan dan kekerasan seksual saat bekerja.

Hal tersebut merupakan permasalahan yang tak kunjung selesai sejak masa kemerdekaan Indonesia. Atau bahkan sejak gerakan pertama pers perempuan berdiri. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan yang perempuan hadapi tidak pernah habis.

Untuk itu, kita memerlukan adanya regulasi terkait perlindungan khusus terhadap jurnalis perempuan. Selain itu, setiap jurnalis, baik laki-laki maupun perempuan, harus senantiasa mengamalkan serta menjaga kode etik jurnalistik dalam setiap melakukan pekerjaannya.

Dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di dunia jurnalistik, kita memerlukan rekonstruksi hukum perempuan dan laki-laki memiliki hak sama. Masyarakat juga harus senantiasa meningkatkan kepekaan terkait isu gender supaya diskriminasi yang membedakan antara laki-laki dan perempuan tidak terus terjadi. Hal ini tentu bukan hanya dalam dunia jurnalistik, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan. []

 

Tags: emansipasiIndonesiaperempuanRM Tirto Adhi Soerjosejarah
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Ulama Perempuan Perekat Kerukunan

Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik

27 Maret 2023
Asy-Syifa Binti Abdullah

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

24 Maret 2023
Peminggiran Peran Perempuan

Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

21 Maret 2023
Warisan Gusdur

3 Warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Menurut Prof. Musdah Mulia

20 Maret 2023
Fundamentalisme Islam

Haideh Moghissi : Fundamentalisme Islam dan Perempuan

17 Maret 2023
Feminisme Islam

Perjuangan Fatima Mernissi dan Feminisme Islam 

14 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Akhlak dan perilaku yang baik

    Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik
  • Pentingnya Memahami Prinsip Kehidupan Bersama
  • Q & A: Apa Batasan Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadan?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist