Mubadalah.id – Seorang teman memasang status di FBnya agar dalam menjalankan ibadah puasa kita tidak riya (pamer). Peringatan itu sangat masuk akal. Sebab, seikhlas apapun, orang bisa menjalankan ibadah apapun dengan tujuan yang tak sejujurnya untuk ibadah; bisa untuk pamer, memberi kesan sebagai orang yang shaleh/shalehah, untuk beriklan, untuk kepentingan politik tipis-tipis, misalnya agar calon mertua terkesan, sampai untuk kepentingan politik “tebal-tebal” agar dipilih.
Seluruh rangkaian ibadah yang masuk dalam rukun Islam, seperti puasa, sangat berpotensi untuk menjadi ibadah yang riya alias pamer. Bahkan untuk ibadah yang berbiaya mahal seperti Ibadah Haji, orang bisa terperangkap oleh riya.
Tentu, ibadah apapun, dalam agama apapun menuntut kejujuran dari yang menjalankannya. Jujur artinya hanya orang itu sendirilah yang tahu apa dan mengapa menjalankan ibadah itu. Dalam Islam segala sesuatu tergantung niat. Ibadah yang bersifat ritus/ ritual memang tak sulit untuk terjerembab ke dalam ibadah yang tak sejujurnya untuk ibadah. Utamanya karena dalam sejumlah ritual ibadah ada aspek “tontonan” ketika seseorang menjalankannya.
Namun di antara ibadah- ibadah itu, puasa merupakan ritual yang paling menuntut kejujuran. Pada ibadah puasa, ketika seseorang menjalankannya, aspek tontonannya hampir tidak menonjol. Hanya diri sendiri yang tahu apakah ia sedang berpuasa atau tidak.
Sementara untuk ibadah yang lain, orang bisa ikut tahu, bisa menyaksikan dan menontonnya. Sejak syahadat, shalat, zakat dan haji, orang bisa menyaksikannya, tapi tidak untuk ibadah puasa. Bagaimana membuktikan orang puasa dan tidak puasa? Penerapan Syariat Islam pun hanya bisa mengawasi apakah warung nasi buka siang hari atau tidak.
Ibadah puasa yang dijalankan seseorang tak memperlihatkan aspek tontonan sebagaimana ibadah yang lain. Sejak dari bangun untuk memasak dan sahur, menahan diri dari makan dan minum sepanjang hari, berbuka dan melanjutannya dengan shalat tarawih selama sebulan penuh adalah rangkaian ibadat yang menuntut disiplin dan kejujuran diri. Hampir sulit orang mampu menjalankannya jika hanya untuk kepura-puraan.
Mungkin orang sanggup menjalankan ritual shalat atau bahkan haji. Orang bisa ikut tawaf dan sya’i dan wukuf di Mina sekalipun untuk berpura-pura. Tapi hampir tidak mungkin orang menjalankan ritual puasa sebagaimana menjalankan ritual shalat, bayar zakat sepanjang bulan untuk kepura-puraan.
Hanya ibadah shalat “qiyamul lail” yang tuntutan tingkat kejujurannya menyerupai puasa. Orang melakukannya sendirian di malam buta, ketika semua orang terlelap tidur. Aspek tontonan pada qiyamul lail sangat kecil sehingga unsur riya tak menonjol.
Dalam tradisi Sufi, karenanya, puasa dikenali sebagai ibadah yang sepenuhnya “untuk Tuhan”. Puasa adalah ibadah yang menuntut kejujuran pribadi dan ibadah yang sepenuhnya dipersembahkan bagi Tuhan sebagai bentuk ketundukkan sejati yang tanpa pamrih. “Puasa itu untukKu”. Selamat menjalankan ibadah puasa! []