Mubadalah.id – Tulisan ini berangkat dari keresahan saya. Ketika jajan atau memesan minuman di luar alias di gerai minuman atau tempat makan, sebisa mungkin saya meminimalisir penggunaan barang berbahan plastik. Biasanya saya membawa tumbler sendiri, atau sedotan stainless. Jika terlupa, saya terpaksa menggunakan gelas plastik sekali pakai. Tetapi, untuk penggunaan sedotan saya selalu berusaha menolaknya. Saya minum tanpa sedotan plastik.
Tidak hanya ketika jajan atau memesan minuman di gerai atau tempat makan, tetapi saat bertamu juga saya berusaha untuk minum tanpa sedotan plastik. Air mineral dalam kemasan gelas itu tidak luput disandingkan dengan sedotan plastik. Alih-alih minum dengan sedotan, saya justru merobek bagian atasnya, lalu meminum langsung dari cupnya.
Sikap saya ini seringkali mendapat celetukan dari teman atau orang-orang sekitar. “Ribet banget sih!”, atau “Duh, jangan mempersulit diri dong!”. Saya cuek saja. Bahkan seringkali saya justru ‘menyeret’ mereka melakukan hal yang sama. Menolak langsung sedotan pada pelayan yang mengantarkan minuman.
Hal kecil seperti sedotan ini harusnya tidak kita anggap sepele. Jika 1000 orang menggunakan sedotan, maka akan ada 1000 sampah sedotan. Bayangkan jika seluruh manusia di bumi ini menggunakan satu atau lebih sedotan plastik setiap harinya. Sedotan yang menumpuk jelas akan mencemari lingkungan sekitar.
Sedotan Plastik Penuhi Sampah Laut
Selain itu, sedotan plastik juga seringkali banyak kita temukan di laut. Berakhir menjadi sampah. Fenomena ini sangat memprihatinkan karena dapat membahayakan satwa dan ekosistem laut. Satu kasus viral pernah terjadi di mana seekor penyu kesakitan karena ada sedotan plastik nyangkut di hidungnya. Belum lagi tak jarang kita temukan berbagai kasus ikan yang memakan sampah di lautan.
Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam sebuah artikel Kompas.id mengatakan bahwa pencemaran sampah plastik di Indonesia sudah mulai mengkhawatirkan. Sebanyak 93 juta ton sampah sedotan plastik yang Indonesia hasilkan setiap tahunnya. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk negara ke-4 penghasil sampah terbesar di dunia.
Angka tersebut hanya menggambarkan sampah sedotan saja. Belum lagi jenis sampah lainnya seperti kantong plastik, sisa makanan, sampah tekstil, sampah rumah tangga, dan lain sebagainya. Jika setiap orang memiliki kesadaran untuk minimalnya minum tanpa sedotan plastik, berarti kita dapat berkontribusi untuk menjaga lingkungan dan mengurangi jumlah sampah di bumi.
Temuan ini juga menandakan bahwa isu lingkungan harus menjadi tanggung jawab bersama. Individu, kelompok, industri, maupun pemerintah. Di tingkat individu atau kelompok, kita bisa memulai dengan membiasakan untuk minum tanpa sedotan. Butuh kesadaran penuh untuk menerapkannya agar menjadi suatu kebiasaan.
Aksi Menolak Minum dengan Sedotan Plastik
Kurang lengkap jika hanya menerapkan aksi menolak minum dengan sedotan plastik tanpa mengkampanyekannya kepada publik. Kampanye ini juga termasuk bentuk kepeduliaan terhadap isu lingkungan. Bisa secara individu dengan mengajak langsung orang-rang terdekat, atau melalui media digital berupa tulisan atau caption di media sosial. Terlebih, kampanye secara berkelompok akan lebih memperkuat gerakan.
Seperti halnya yang telah dan masih dilakukan Milo Cress pendiri “Be Straw Free” asal Amerika Serikat. Sejak 2011, ia menyuarakan larangan penggunaan sedotan plastik untuk kelestarian lingkungan. Pasalnya, berdasarkan artikel www.vice.com, penduduk Amerika menggunakan 500 juta sedotan dihasilkan setiap harinya, dan tentu akan berakhir menjadi sampah.
Berangkat dari gerakan yang Milo Cress insiasi ini, banyak organisasi lainnya seperti Wildlife Conservation Society (WCS) yang menyuarakan larangan penggunaan sedotan plastik. Tak hanya itu, WCS juga meminta para pengusaha di Amerika Serikat untuk menghentikan penggunaan sedotan plastik.
Di tahun 2018, Seattle menjadi kota pertama yang melarang penggunaan sedotan plastik di Amerika Serikat, lalu kota lain mengikutinya, seperti San Francisco dan California. Gerakan di tingkat kelompok ini senyatanya dapat mengubah sistem yang ada di tingkat industri juga pemerintah.
Aksi Nyata di Indonesia
Gerakan serupa juga hadir di Indonesia. Divers Clean Action mengajak warga dan pelaku industri untuk peduli dengan dampak penggunaan sedotan plastik terhadap lingkungan. Swietenia Puspa Lestari selaku founder mengatakan bahwa gerakan yang telah komunitasnya lakukan ini sejak 2017 berhasil menggandeng satu perusahaan makanan cepat saji terbesar di Indonesia. Mereka berkomitmen tidak lagi menyediakan sedotan plastik.
Saya pribadi pernah menjumpai salah satu kafe yang menyediakan sedotan stainless, alih-alih berbahan plastik. Saya sangat mengapresiasi manajemen kafe yang sadar akan isu lingkungan, tidak hanya mengedepankan faktor ekonomi saja.
Apalagi trend coffee shop yang digandrungi mulai dari milenial hingga orang dewasa, pastinya menyumbang sedotan plastik dalam jumlah yang tidak sedikit. Padahal, penggunaan sedotan stainless terhitung lebih hemat, karena dapat kita gunakan berulang kali. Lebih ekonomis dan ramah lingkungan, meskipun mengharuskan modal yang cukup besar di awal.
Yuk mulai dari hal terkecil dengan minum tanpa sedotan plastik! Tidak akan terasa ribet jika kita lakukan dengan sepenuh hati dan kita sertai kesadaran penuh akan pentingnya merawat bumi. Rumah kita satu-satunya, tidak ada yang lain bukan? []