Mubadalah.id – Setelah berjamaah salat subuh di tajug (musala), pagi itu saya sengaja berkeliling, menghidup udara segar di pagi hari Minggu. Saya memutuskan untuk menepi, sekadar untuk sarapan pagi di pinggir jalan dekat pasar. Setelah saya selesai sarapan, mata saya tertuju pada salah satu pertanyaan dan jawaban di sebuah kajian grup WA. Konon katanya, ketika sudah menikah pun, harta suami tetap milik orang tua. Bukan milik istri. Dan istri sepenuhnya milik suami dan karenanya harus lebih taat kepada suami ketimbang kepada kedua orang tuanya sendiri. Saya lumayan terkejut. Apa benar Islam punya ajaran seperti demikian?
Saya ingin merunutnya dari awal. Pernikahan adalah aktivitas ibadah karena Allah, akad persaksian dan janji setia antara perempuan dan laki-laki di hadapan Allah SWT, masing-masing kedua orang tua, sanak keluarga dan masyarakat apapun risikonya. Saya tidak punya kecenderungan untuk memaknai bahwa nikah merupakan akad layaknya jual beli. ‘Lu jual, gua beli.’ Tidak begitu.
Oleh karena itu, ada yang jauh lebih substantif ketimbang mempersoalkan kepemilikan harta dan sikap taat. Seolah-olah ada pihak yang tersandera karena akad pernikahan. Pernikahan itu kebahagiaan dan kebersamaan. Pernikahan itu keindahan, syukuran dan keridaan. Bukan ajang untuk memperhadapkan dan mempertentangkan.
Jangan identikkan pernikahan dengan harta berikut kepemilikannya. Bergitupun sikap taat, tidak hanya ditujukan kepada satu pihak, sementara pihak lain tidak mesti memenuhi komitmen taat. Maka Islam memandang pernikahan tidak sesempit pandangan yang selama ini beredar. Bahwa suami dan hartanya milik orang tua, sementara istri tidak berdaya.
Jadi begini, saya meyakini Islam adalah agama yang memanusiakan. Pernikahan disyariatkan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia. Dengan demikian, persoalan harta tidak usah lagi dipertentangkan. Istri dan suami dituntut untuk bisa menepati janji pernikahan dan memenuhi komitmennya. Sedikit banyaknya harta keduanya harus saling terbuka, membelanjakan harta untuk kemaslahatan rumah tangga dan keluarga.
Apapun harus dilalui dengan prinsip musyawarah. Suami harus terbuka kepada istri soal nafkah dan harta. Harta suami punya istri, begitu pun harta istri punya suami. Keduanya saling memiliki dan bersama mengelola. Atas musyawarah istri dan suami, keduanya sangat dianjurkan untuk tetap memuliakan orang tua maupun mertua. Misalnya orang tua dan mertua diberi rezeki berupa uang bulanan oleh sepasang istri dan suami.
Suami harus taat kepada istri, sebagaimana istri harus taat kepada suami. Istri dan suami juga harus taat kepada masing-masing orang tua dan mertua. Sepanjang sikap taat itu dalam koridor kebaikan. Pernikahan itu perekat bukan perenggang. Persoalan kalau kemudian dalam perjalanan rumah tangga ada masalah itu soal lain. Masalah demi masalah yang muncul dalam rumah tangga pun harus diselesaikan dengan musyawarah dan kesabaran, bukan dengan emosi dan saling menyalahkan.