• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Meneropong Hukum Keluarga dengan Lensa Gender

Kendati Undang-Undang memberi kepastian hukum kepada seseorang, tapi bias gender di dalamnya rentan terjadi. Maka, lensa gender diperlukan ketika mengkajinya.

Miftahul Huda Miftahul Huda
23/10/2020
in Hukum Syariat, Keluarga
0
193
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Salah satu penyebab bias gender adalah adanya hierarki gender, sehingga berdampak pada perumusan hukum—dalam hal ini hukum keluarga di Indonesia. Di sinilah diperlukan lensa gender untuk melihat hukum lebih kritis dan humanis. Sebab, hukum dibentuk dan membentuk  masyarakat. Dus, hukum juga berpotensi melegitimasi bias gender.

Hierarki gender yang dimaksud adalah, laki-laki dianggap lebih superior dari perempuan. Oleh karenanya, ia terlihat layak mengatur segala bidang dan perempuan menurutinya. Padahal, menurut Asma Barlas dalam Believing Women in Islam (2002), sesuai dengan prinsip tauhid, laki-laki dan perempuan berada di garis yang sama di bawah Tuhan. Jadi, tidak ada hierarki antara laki-laki dan perempuan, hanya ketakwaan yang membedakan posisi keduanya.

Munculnya superioritas tersebut didasarkan pada perbedaan biologis penciptaan, yang mana laki-laki dianggap ciptaan primer, sedangkan perempuan sekunder. Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex, menyebut keadaan perempuan seperti itu sebagai liyan, “makhluk selain laki-laki”. Oleh sebab itu, hukum Islam ditafsirkan secara male oriented (Kauakab Siddique, Menggugat Tuhan yang Maskulin, 2002), yang menjadikan laki-laki memiliki hak lebih istimewa dari perempuan. Misalnya: memukul secara fisik, mengontrol keluarga, membuat keputusan.

Dilihat dari penyusunannya, menurut Euis Nurlaelawati dalam Modernization, Tradition, and Identity (2010), KHI tidak melibatkan perempuan, baik di seminar atau ketika studi banding ke luar negeri. Kurangnya representasi perempuan tersebut disinyalir sebagai salah satu penyebab adanya bias gender.

Isu Gender dalam Hukum Keluarga

Baca Juga:

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam

Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

Prinsip Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam

Poligami. Merupakan isu yang paling sering diperdebatkan oleh publik, terutama di kalangan aktivis gender. Beberapa yang sepakat dengan poligami mengacu pada surat an-Nisa’ (4):3. Sedangkan menurut Lies Marcus, keadilan tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh siapapun dengan mengacu pada ayat 129 di surat yang sama.

Di sisi lain, pasal poligami juga menuntut perempuan harus memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dari laki-laki, jika tidak ingin dipoligami. Tentunya ini sangat timpang, di mana secara fisik laki-laki lebih diuntungkan daripada perempuan—pasal 57. Dengan kata lain, poligami diperbolehkan karena kegagalan atau kesalahan perempuan.

Berdasarkan data dari Human Relation Area Files (HRAF), budaya di dunia yang mempraktikkan poligami mencapai 77% atau 193 negara dari 250 negara. Dengan begitu poligami bukan hanya dipraktikkan dalam masyarakat Islam, tapi juga lainnya. Misalkan masyarakat Amerika kontemporer, mereka juga mempraktikkan poligami, contohnya penganut agama Mormon.

Mengenai larangan poligami dalam Islam, hadis Bukhari (Shahih Bukhari Jilid II (juz 4)) bisa menjadi rujukan: tentang Nabi Muhammad yang melarang Ali memadu Fatimah; dan Nabi membolehkan Ali untuk menikah lagi, asalkan menceraikan Fatimah terlebih dulu.

Kepala keluarga. Sesuai pasal 31 UU Perkawinan tahun 1974 laki-laki berperan sebagai kepala keluarga, di mana ini akan kontradiksi bagi perempuan single parent. Perempuan yang mengurus anaknya tanpa ada suami tidak dianggap sebagai kepala rumah tangga.

Berdasarkan data BPS tahun 2018, tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7% dikepalai oleh perempuan; dan 67,17% di antaranya sebab suami mereka meninggal (Kompas, 3 Agustus 2020). Namun ironisnya, hukum keluarga/perkawinan tidak mengakui adanya perempuan sebagai kepala keluarga, meskipun datanya ada. Ini merupakan bias gender, sebab kepala keluarga ditentukan berdasarkan jenis kelamin, bukan peran sosialnya.

Usia perkawinan. Saat ini usia perkawinan sudah bisa dikatakan setara sejak disahkannya UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974; dari yang sebelumnya 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki menjadi sama-sama 19 tahun. Hal tersebut menjadi isu sensitif, sebab berkaitan dengan kondisi rahim perempuan, di mana usia yang tidak matang akan memengaruhi kemampuan rahim dalam mengandung.

Hak kesehatan reproduksi bagi perempuan adalah prioritas. Berdasarkan hasil ICPD Cairo 1994, kesehatan reproduksi adalah kondisi sehat secara fisik, mental, sosial, dan semua proses serta fungsi reproduksi.

Data UNICEF dari tahun 1990-2013, menyatakan, bahwa angka kematian ibu (mortalitas) di Indonesia memang menurun 45%; dari 380 kematian menjadi 210 kematian dari 100.000 kelahiran hidup. Dengan begitu angka penurunan rata-rata pertahun sebanyak 2,6 persen; namun masih jauh dari angka 5,5 persen yang menjadi target Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Berdasarkan data pdpersi.co.id, saat ini masih diusahakan percepatan penurunan mencapai 183 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2024.

Namun, pengadilan sering mengabulkan permohonan dispensasi nikah dengan alasan moral. Padahal, hukum untuk menegakkan keadilan-menghilangkan diskriminasi, bukan mendakwa moral seseorang. Di sisi lain, moral sering dikonstruksi untuk mengekang tubuh perempuan, segala ketabuan dan degradasi moral ditafsirkan sesuai pengalaman laki-laki.

Perceraian. Kendati talak (sah) diikrarkan di muka pengadilan menjadikan perempuan tidak mudah dipermainkan, namun kerugian masih ditemukan di sana. Pasalnya, tidak sedikit pembiaran perempuan oleh suami berlangsung lama tanpa kejelasan (2 bulan sampai lebih dari 1 tahun), dan selama itu pula perempuan terlantar secara ekonomi dan seksual. Karena selama menunggu putusan cerai pengadilan, kehidupan perempuan/istri dan anak tidak dijamin oleh laki-laki/suami/ayah.

Beban ganda yang terlegitimasi. Ini berkaitan dengan masifnya perempuan yang mengakses ruang publik: pabrik, guru, perkantoran. Namun tidak diimbangi dengan produk hukum yang inklusif gender, seperti masih menganggap istri/perempuan sebagai ibu rumah tangga—pasal 79 ayat (1). Akibatnya, perempuan setelah selesai bekerja masih memiliki “kewajiban” menyelesaikan pekerjaan domestik: membersihkan, mencuci, memasak. Ini menjadi sebab perempuan memiliki beban waktu dan pekerjaan lebih berat dari laki-laki (Candida March dkk., A Guide to Gender-Analysis Frameworks, 1999).

Berbagai persoalan yang belum selesai tersebut menjadi tugas rumah kita bersama untuk menciptakan hukum yang humanis. Membangun keluarga yang harmonis tidak bisa hanya menggunakan lensa laki-laki saja. Pengalaman perempuan perlu diakomodasi agar tidak ada bias gender dalam penyusunan hukum yang berimplikasi pada kehidupan sosial dan masyarakat. []

Tags: GenderHukum KeluargakeadilanKesetaraan
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID