• Login
  • Register
Jumat, 22 September 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Pendidikan dan Diskriminasi Perempuan Disabilitas

Kisah Hani mewakili isu kawan-kawan disabilitas lain di negeri ini. Di mana perempuan disabilitas kerap menerima perlakuan diskriminatif di lingkungan tempat kerja, bahkan di sekolah

Erfin Walida Erfin Walida
26/07/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Perempuan Disabilitas

Perempuan Disabilitas

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perempuan disabilitas kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Termasuk di lembaga pendidikan seperti sekolah atau lembaga pemerintahan. Dari pandangan tak biasa oleh orang sekitarnya, sampai program pendidikan yang tidak ramah pada penyandang disabilitas, terutama perempuan. Seperti yang temanku alami, Hani namanya.

Di hari pernikahanku, para sahabat hadir dan turut berbahagia. Termasuk sahabat suamiku. Mereka bersuka cita di hari pentahbisan kami. Dari sana aku mengenal Lathi, Hani, dan Ada. Mereka sangat menyenangkan. Sepulang tamu undangan, kami melanjutkan obrolan. Tentang apapun. Keesokan harinya mereka pulang setelah menginap di rumah kami.

Wajah Hani mulai membayangi. Sebagai orang yang baru kenal, aku sangat tertarik pada cerita-ceritanya. Senyuman menghiasi wajahnya setiap waktu. Tapi, aku melihat ada sesuatu yang ia tutupi di balik wajah cerianya. 

Sejak saat itu aku kerap kepo dengan status medsosnya. Sesekali kutinggalkan jempol atau komentar. Komunikasi di medsos membuat kami lebih dekat. Ia kerap mengirim teks atau menelponku. Bahkan saat menyempatkan diri datang ke rumah, ia membagikan kisahnya denganku. Ia merasa orang-orang di sekitar dia memandangnya dengan sebelah mata.

Hani memiliki keterbatasan fisik. Ia tak mampu berjalan tegak lantaran salah satu kakinya disable sejak lahir. Menurutnya, ini salah satu penyebab menurut Hani orang lain menyepelekannya. Bahkan Hani kerap menerima perlakuan diskriminatif oleh individu atau kelompok.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ethical Implications: Relasi Guru dan Murid dalam Membangun Kesalingan
  • Gara-gara Wajib Jilbab: Kekerasan Berbasis Agama dan Gender
  • 4 Hal yang Harus Diajarkan tentang Pengetahuan Seks Usia Anak
  • Anakku, Jilbabmu Adalah Pilihanmu
    • Praktik Ketidakadilan Sistem Pendidikan
    • Disabilitas Dianggap Tidak Punya Daya
    • Analisis Gender Sarah Longwe

Baca Juga:

Ethical Implications: Relasi Guru dan Murid dalam Membangun Kesalingan

Gara-gara Wajib Jilbab: Kekerasan Berbasis Agama dan Gender

4 Hal yang Harus Diajarkan tentang Pengetahuan Seks Usia Anak

Anakku, Jilbabmu Adalah Pilihanmu

Praktik Ketidakadilan Sistem Pendidikan

Hani lulusan bidang pendidikan. Ia ingin tempatnya melamar pekerjaan menerima dia sebagai guru. Namun, ternyata ia mendapat posisi sebagai penjaga perpustakaan. “Alasan mereka kasihan sama aku kalau ngajar terlalu berat.” Di perpustakaan ia merasa tak nyaman. Lantaran setiap bekerja ada saja yang mengganggu. Seperti saat ia mengangkat tumpukan buku, orang di sekitarnya segera menyahut tanpa persetujuannya. “Aku mampu padahal. Kenapa mereka nggak bisa gitu percayain ke aku,” kenangnya. 

Pada 2016 silam Hani pernah mencoba daftar program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertiggal (SM3T). Tak ia sangka, Hani lolos tahap administrasi, wawancara, serta pra kondisi sebagai pembekalan pemberangkatan. “Di sana aku merasa dihargai lagi sebagai manusia,” kisahnya sambil membayangkan indahnya masa itu.

“Tapi justru di hari terakhir sebelum keberangatan, panitia memanggilku dan menyatakan aku tak bisa berangkat. Hanya aku di antara semua peserta.” Perlahan suaranya pun tercekat.  Ia tak sanggup berkata-kata.

Kisah di atas hanya secuil praktik ketidakadilan sistem pendidikan pada kaum minoritas seperti Hani. Padahal, ideal semestinya  lembaga pendidikan menjadi penyuara isu toleransi dan dapat lebih fleksibel dalam menjamin pemenuhan akses bagi diabilitas. 

Hal ini tak sejalan dengan aturan hak konstitusional dalam pasal 28 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Disabilitas Dianggap Tidak Punya Daya

Pedoman Pelaksanaan Program SM3T tidak menyebutkan non disabilitas dalam persyaratan. Dalam pra kondisi non akademik, peserta mendapat bekal keterampilan sosial, pembinaan mental, manjemen risiko, wawasan kebangsaan dan bela negara, serta keterampilan survival. Sehingga panitia beralasan bahwa keterampilan survival Hani mereka nilai kurang dengan keterbatasannya. Penempatan  di Maluku Utara menurut panitia berisiko untuk fisik Hani. Ia dianggap tak mampu.

Panitia berkali-kali menyadarkan akan ketidakmampuan Hani sampai panitia berkata, “Dulu ada yang meninggal lo karena nggak bisa berenang,” juga menyatakan dengan tegas, “Kamu boleh ikut pra kondisi, tapi kamu nggak ikut berangkat. Oiya, kamu tidak boleh ngomong ke teman lain ya. Karena mereka harus fokus persiapan keberangkatan.”

Gadis periang ini mengaku terpuruk dan perlu waktu yang lama untuk bangkit. “Sekitar 6 bulan aku nggak keluar rumah dan tak menghubungi siapapun. Benar-benar jatuh kepercayaan diriku. Aku kok gak kanggo ngene ya,” aku Hani yang makin merasa hidupnya tak berguna.

Kini, Hani diterima sebagai guru PNS di daerah barat pulau Jawa. Ia merasa kejadian yang menimpanya dahulu menjadi penghalang dalam pekerjaannya saat ini. Bagaimana tidak. Sertifikat SM3T yang seharusnya ia kantongi dapat meloloskannya dari kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). “Kan kalau aku dapat sertifikat SM3T udah gak perlu PPG, Mbak.”

Analisis Gender Sarah Longwe

Menurut Sarah Longwe, tahapan pemberdayaan pada pengkondisian diskriminasi dan subordinasi terdiri dalam 5 hal. Yakni kesejahteraan, akses, kesadaran, partisipasi, dan kontrol. Pada kasus Hani menjadi kompleks. Sudah rentan karena disabilitasnya, ia masih terbatasi pula untuk mendapatkan akses. Sehingga boro-boro menumbuhkan kontrol atas diri sendiri, jalan menuju kesadaran dan partisipasi seakan hanya angan. 

Kisah Hani mewakili isu kawan-kawan disabilitas lain di negeri ini. Di mana perempuan disabilitas kerap menerima perlakuan diskriminatif di lingkungan tempat kerja, bahkan di sekolah. Mereka butuh kita dengarkan, dan kita suarakan haknya. Mendiamkan berarti setuju atas kezaliman yang terjadi. Masihkah kita akan tinggal diam? []

 

Tags: DisabilitasDiskriminasidiskriminasi perempuanpendidikanpendidikan tanpa diskriminasi
Erfin Walida

Erfin Walida

Pendidik dan aktivis perempuan. Tertarik dengan isu pendidikan, agama, dan gender.

Terkait Posts

Idgitaf

Lagu Satu-Satu: Pentingnya Berdamai dengan Diri Sendiri

22 September 2023
Kesejahteraan Ibu dan Anak

Membaca Arah RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Part I

22 September 2023
Bidadari Surga

Perempuan Bukan Bidadari Surga

21 September 2023
Anak Perempuan Jawa

Anak Perempuan Jawa: Beban Orang Tua?

20 September 2023
Pernikahan yang Maslahat

Pernikahan yang Maslahat dan Keberlanjutan Lingkungan

20 September 2023
Petugas SPBU Perempuan

Perempuan yang Meringkuk di Balik Regulasi

19 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bidadari Surga

    Perempuan Bukan Bidadari Surga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pada Masa Nabi Muhammad Saw Banyak Perempuan yang Ikut Jihad Bela Negara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Mubadalah dalam Hadis Jihad Perempuan di Dalam Rumah Tangga 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jihad Perempuan dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Selamat Jalan Pejuang Nahdlatul Ulama Prof Dr Sri Mulyati MA

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Lagu Satu-Satu: Pentingnya Berdamai dengan Diri Sendiri
  • Membaca Arah RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Part I
  • Makna Mubadalah dalam Hadis Jihad Perempuan di Dalam Rumah Tangga 
  • Selamat Jalan Pejuang Nahdlatul Ulama Prof Dr Sri Mulyati MA
  • Jihad Perempuan dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist