• Login
  • Register
Minggu, 2 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Sejauh Mana Pemahaman Feminisme Kita?

Kita harus percaya bahwa gerakan kesetaraan atau feminisme maju satu langkah, setiap kali ada laki-laki dan perempuan dari segala usia bekerja bersama demi berakhirnya seksisme

Zahra Amin Zahra Amin
11/02/2023
in Pernak-pernik
0
Pemahaman Feminisme

Pemahaman Feminisme

665
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saya tertarik mengulas tentang sejauh mana pemahaman feminisme kita, setelah mengikuti kelas DKUP Lanjutan Fahmina Institute pada  4 s/d 6 Februari 2023 pekan kemarin. Kegiatan dipandu fasilitator Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dan Dr. Iklilah Muzayyanah atau yang akrab kami sapa Mbak Iklilah.

Dalam sesi kelas sore bersama Mbak Iklilah, ada banyak pertanyaan yang diajukan sebagai bahan refleksi tentang bagaimana sikap kita sebagai perempuan. Atau yang mendaku diri sebagai feminis. Atau yang malu-malu mengakui sebagai feminis, dan lebih memilih mendaulat diri sebagai pejuang kesetaraan tapi bukan seorang feminis.

Daftar Isi

    • Review Kesadaran Gender
  • Baca Juga:
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja
  • Bagaimana al-Qur’an Berbicara Mengenai Gender?
  • Haideh Moghissi : Fundamentalisme Islam dan Perempuan
  • Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan
    • Konstruksi Gender
    • Jika Terjadi Ketidakadilan terhadap Perempuan
    • Feminisme Liberal
    • Feminisme Marxis
    • Feminisme Radikal
    • Kerja-kerja Strategis

Review Kesadaran Gender

Salah satu pertanyaan dalam materi refleksi itu adalah, bagaimana sikap kita sebagai perempuan ketika meninggalkan anak balita saat harus mengikuti kegiatan pelatihan di luar kota. Ada empat pilihan jawaban. Antara lain, pertama membawa anak tanpa pengasuh meski harus kerepotan dan tidak fokus mengikuti kegiatan. Kedua, membawa anak sekaligus pengasuhnya. Bisa suami, atau anggota keluarga terdekat.

Ketiga, meninggalkan anak dengan suami atau keluarga terdekat dengan menyiapkan seluruh kebutuhan anak secara detail. Sehingga selama kegiatan, perempuan merasa tenang. Keempat, meninggalkan anak bersama suami atau keluarga terdekat dan tidak menyiapkan apapun. Perasaan kita sebagai ibu juga biasa-biasa saja. Tidak merasa bersalah.

Pertanyaan reflektif di atas kenyataannya memang banyak kita temui sehari-hari. Terutama yang dialami oleh para perempuan bekerja. Jujurly, ketika menjawab pertanyaan di atas, saya sampai berulang kali membacanya.  Meski Mbak iklilah menegaskan tidak ada jawaban benar dan salah. Ini hanya menguji sejauh mana pemahaman feminisme kita.

Baca Juga:

Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

Bagaimana al-Qur’an Berbicara Mengenai Gender?

Haideh Moghissi : Fundamentalisme Islam dan Perempuan

Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan

Konstruksi Gender

Dan ya, saya menjawab nomer tiga, dengan beberapa pertimbangan. Saya dan suami sama-sama bekerja. Bahkan mungkin porsi bekerja suami lebih banyak, hampir 24 jam. Sebagai tenaga kesehatan dan buka praktik mandiri di rumah, setiap hari selalu berinteraksi dengan pasien dan keluarganya. Lalu pertimbangan lain, kami tidak punya pengasuh anak. Semua hal kami kerjakan sendiri, dengan saling berbagi dan berganti tugas serta peran dalam keluarga.

Tetapi apapun jawabannya, tanpa sadar sebenarnya kita tengah memperlihatkan bagaimana konstruksi gender itu telah mengakar hingga ke alam bawah sadar. Di mana secara tidak langsung kita masih membebankan pengasuhan anak hanya pada ibu semata. Dan tugas Ayah hanya mencari nafkah, memenuhi kebutuhan materi saja.

Seperti saya, yang mungkin masih belum percaya pada suami ketika meninggalkan anak di rumah untuk waktu yang lama. Atau pada akhirnya ada ketergantungan laki-laki pada perempuan untuk urusan domestik, sehingga tak punya kemampuan untuk mengambil keputusan dalam soal pengasuhan anak.

Jika Terjadi Ketidakadilan terhadap Perempuan

Pada review berikutnya, pertanyaan yang juga membuat saya tertarik adalah tentang bagaimana jika terjadi ketidakadilan terhadap perempuan di sekitar kita, hal apa yang harus diperjuangkan. Pilihan jawabannya, pertama membuat aturan hukum dan kebijakan. Kedua, mendorong perempuan agar berdaya secara ekonomi sehingga punya posisi tawar.

Ketiga, memberikan pendidikan pada perempuan agar bersikap kritis. Pada point keempat saya lupa mencatat. Tapi dari tiga jawaban di atas saya kira sudah cukup mewakili penjelasan Mbak Iklilah berikutnya. Karena melalui jawaban yang kita berikan itu, justru menunjukkan di mana posisi kita sebagai feminis, atau yang mendaku diri sebagai pejuang kesetaraan tapi sejatinya ya feminis juga.

Feminisme Liberal

Bagi peserta yang memilih jawaban hukum dan kebijakan, sebenarnya telah menunjukkan bahwa kita adalah seorang feminis liberal. Di mana dalam artikel yang pernah saya baca di Konde.co, bahwa Feminisme liberal cenderung fokus pada penggunaan sistem kekuasaan yang ada, seperti pengadilan dan pemerintah yang harus kita reformasi untuk memperjuangkan hak dan memperbaiki kehidupan perempuan.

Pada dasarnya feminisme liberal cenderung mengandalkan negara untuk mencapai kesetaraan. Artinya negara dipandang sebagai pelindung hak-hak individu. Konsekuensinya, aliran pemikiran ini banyak dianggap sebagai aliran feminisme reformis, bukan aliran revolusioner. Karena aliran ini tidak mempertanyakan sistem, tetapi percaya bahwa negara dan kapasitas sistemnya bisa kita reformasi.

“Jangan salah, proses dan hasil musyawarah keagamaan atau fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) juga menyasar ke sini.” Tegas Mbak Iklilah.

Feminisme Marxis

Sedangkan bagi peserta yang memilih jawaban ekonomi sebagai persoalan perempuan, sehingga ia berada dalam posisi yang lemah, maka tanpa sadar kita sepakat dengan pemikiran feminisme marxis. Di mana salah seorang feminis Marxis, yakni Sharon Smith, pada Mei 2013, pernah menulis bahwa pembebasan perempuan dapat tercapai melalui jalan antara lain memasukkan perempuan ke dalam kegiatan ekonomi yang bersifat produktif, dan di dalam suatu sistem yang penuh dengan perencanaan.

Feminisme Radikal

Terakhir adalah feminisme radikal untuk merespon jawaban bahwa  pendidikan kritis bagi perempuan sebagai jalan untuk menghadapi persoalan ketimpangan. Feminis radikal sendiri terbagi menjadi dua. Yaitu Feminisme Radikal libertarian yang muncul pada  tahun 1960-1980 dan fokus pada berbagai pilihan pribadi perempuan atas tubuh dan seksualitas mereka.

Aliran feminisme ini percaya bahwa identitas gender feminin membatasi perempuan untuk berkembang sebagai manusia seutuhnya, dan menganggap musuh utama perempuan adalah patriarki.

Berbeda dengan feminisme radikal libertarian, feminisme radikal kultural  mempercayai bahwa selain patriarki, laki-laki juga merupakan bagian dari munculnya opresi terhadap perempuan. Mereka menganggap bahwa laki-laki mengendalikan seksualitas perempuan untuk kepuasan si laki-laki.

Kerja-kerja Strategis

Menjadi feminis, atau perempuan yang punya kesadaran tentang kesetaraan selalu memahami betapa perlunya mengubah pemikiran laki-laki. Kita tahu, semua perempuan di dunia bisa menjadi feminis, tetapi laki-laki tetap ingin mempertahankan pemikiran seksis mereka, maka feminisme kita tidak akan pernah sempurna.

Kita harus percaya bahwa gerakan kesetaraan atau feminisme maju satu langkah, setiap kali ada laki-laki dan perempuan dari segala usia bekerja bersama demi berakhirnya seksisme. Kerja-kerja strategis ini tidak selalu mengharuskan kita untuk bergabung ke dalam komunitas atau organisasi. Kita dapat bekerja atas nama feminis di tempat kita berada saat ini. Kita bisa memulai kerja-kerja feminisme di rumah. Tempat di mana kita tinggal, mengedukasi diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai. []

 

 

Tags: DKUPFahmina InstitutefeminismeGenderkeadilanKesetaraan
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Jumlah mahar

Ini Jumlah Mahar Pada Masa Nabi Muhammad Saw

2 April 2023
Mahar adalah Simbol

Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri

2 April 2023
Tujuan menikah

Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

1 April 2023
Momen Ramadan

Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

1 April 2023
Sarana Menikah

Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan

1 April 2023
kerja rumah tangga

Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga

1 April 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Kehilangan Sosok Ayah

    Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ini Jumlah Mahar Pada Masa Nabi Muhammad Saw
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist