“Setelah menikah, tentu yang diinginkan adalah memiliki generasi penerus. Bagaimana bisa mendapatkan generasi yang berkualitas jika orang tuanya tidak memiliki pendidikan yang cukup?” bela Gus Syauqi di hadapan Abahnya.
Mubadalah.id – Iya itulah sepenggal dialog dari novel Cinta Dalam Mimpi karangan Muyassarotul Hafidzoh. Novel setebal 227 halaman ini tengah menceritakan tentang cinta segitiga yang dialami oleh Farrah, Gus Syauqi dan Mas Nabil. Tidak hanya berisikan cinta-cintaan doang, novel dari seorang ibu tiga anak ini juga mengangkat isu sosial dengan mengintegrasikannya ke dalam ilmu agama dan ilmu sains.
Dikisahkan di dalamnya Farrah, seorang anak lulusan SMP yang cerdas, penyayang dan aktif. Sayangnya sang Ibu berniat menjodohkannya karena tak mampu menyekolahkan Farrah ke SMA sekaligus membalas budi kepada teman bapaknya. Farrah pun menolak keputusan ibu sampai akhirnya boyong ke pondok atas saran Gus Syauqi.
Sangat disayangkan kisah Farrah yang nyaris menikah di usia dini itu juga terjadi nyata di negara kita ini. Bahkan pada kasus pernikahan anak, Indonesia menempati posisi dua se-Asia Tenggara setelah Kamboja. Dan di masa pandemi seperti sekarang kasus perkawinan anak kian meningkat hingga angka 24.000, menurut catatan Kementerian PPPA.
Menikah memang bentuk ibadah untuk menyempurnakan separuh agama, tapi apakah dengan dalih itu, lalu bisa sah-sah saja bila mengesampingkan kebutuhan dasar calon pengantin? Padahal beragama itu tidak melulu tentang ritual langit karna kita adalah Khalifah di muka bumi. Maka, sudah semestinya sebagai hamba dan khalifah kita menyeimbangkan kedua ritual yakni, hablum minallah dan hablum minannas.
Dengan apa caranya? Ya dengan meniatkan segala sesuatu karna Tuhanmu dan untuk menuju-Nya lakukan dengan cara yang baik. Bukan hanya baik bagimu saja tapi baik pula bagi yang bersangkutan atau orang-orang di sekitarmu. Teringat nasihat seorang teman, “Ndah, sesuatu yang diniatkan dengan baik dan diperoleh dengan cara yang baik, maka hasilnya pun InsyaAllah akan baik.”
Sama halnya dengan menikah, menikah memang sesuatu yang baik bahkan dianjurkan. Namun, jika dimulai dengan cara yang bathil seperti merampas hak kebutuhan dasar salah satu pihak, ya tidak menutup kemungkinan hasilnya akan tidak baik-baik saja.
Perkawinan anak di usia yang belum semestinya sama saja dengan merampas haknya. Dan pernikahan tersebut bukanlah solusi dari konflik sosial, entah itu untuk urusan meringankan beban orang tua ataupun membalas budi kebaikan orang lain. Perlu diingat oleh para orang tua bahwa anak bukan nilai tukar ekonomis!
Justru dengan menikahkan anak di usia dini malah akan menimbulkan permasalahan lain, diantaranya rawan praktik KDRT dan terlantarnya anak yang dilahirkannya kelak, sebab masih belum mampu mengelola emosi.
Secara psikologi, Erik erikson juga membenarkan bahwa proses perkembangan mental seseorang tidak bisa dilompati, prosesnya akan berjalan senatural mungkin sesuai dengan tahapan usianya tidak bisa dimanipulasi dengan kondisi lingkungan.
Nah, gak kebayang kan gimana kondisi anak yang menikah di usia yang tidak seharusnya, jelas kesehatan mentalnya akan terganggu. Apalagi jika harus mengandung dan melahirkan seorang anak di usianya yang juga masih anak-anak. Tentu anaknya pun juga bakal terkena imbas dari kondisi kesehatan mental kedua orang tuanya. Jadi, stop memiliki generasi yang lemah!
Dalam al-Qur’an pun juga sudah disebutkan tepatnya pada surat an-Nisa ayat 9 yang terjemahannya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Bukankah sudah jelas dalam ayat tersebut memerintahkan untuk tidak memiliki generasi yang lemah? Lantas bagaimana bisa membentuk generasi yang berkualitas jika tidak ada kesiapan secara fisik, psikis dan keilmuan dari orang tuanya?
Tidak menikahkan seseorang di usia anak sama halnya kita menjaga kebutuhan primer orang tersebut. Seperti pesan Abah pada Gus Syauqi, “bahwa kita wajib melindungi agama, jiwa, keturunan, harta dan akal manusia.”
Maka, di momentum Hari Anak Nasional ini mari bersama-sama menggugah kepedulian dan partisipasi berbagai pihak dalam menekan angka pernikahan anak serta saling berupaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan dengan pemenuhan atas hak-hak anak. []