Mubadalah.id – “Ibarat memelihara tanaman, tugas kita sebagai guru dan orangtua hanyalah membantu untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman tersebut”. Kalimat ini disampaikan oleh salah seorang guru madrasah yang penulis wawancarai untuk kepentingan penelitian. Sampai saat penulis menjadi orang tua, kalimat tersebut menjadi pedoman dalam menerapkan pola asuh anak.
Ya, tanaman akan tumbuh dengan sendirinya sesuai fitrahnya. Kita tidak usah menariknya ke atas, karena ia akan bertumbuh ke atas dengan sendirinya. Pun memupuknya secara berlebihan tidak akan membuat pertumbuhannya semakin baik, justru sebaliknya akan mengakibatkan kerusakan. Ya, ketidaksabaran dan kesalahkaprahan kitalah yang justru seringkali merusak tanaman tersebut.
Salah satu yang sering terjadi adalah “maksud baik” orang tua yang justru melanggar hak anak. Ya, setiap individu mempunyai batasan, termasuk anak-anak. Ada batasan (bounderies) dalam pola asuh anak yang tidak boleh dilanggar oleh orang tua terhadap anaknya. Jika batasan ini dilanggar, maka hak anak terjajah. Jika oleh orangtuanya saja sudah terjajah, maka bagaimana ia bisa membela haknya ketika dewasa?
Ada beberapa hal yang seringkali secara sadar atau tidak sadar pola asuh anak ini diterabas batasannya oleh orang tua, antara lain:
Pertama, harapan atau ekspektasi yang berlebihan terhadap anak.
Banyak orang tua, dalam pola asuh anaknya menginginkan anak menjadi lebih baik dari dirinya, namun tidak diimbangi dengan proses yang harus dilalui, salah satunya adalah dengan memberi teladan secara langsung. Misal, semakin banyaknya anak-anak yang hafal Qur’an dan ditayangkan di televisi dalam program kompetisi, memacu para orang tua untuk menginginkan anak yang hafidz Qur’an.
Harapannya baik, namun apakah tidak berlebihan berharap anak menjadi hafidz sementara dirinya sendiri jarang membaca apalagi menghafal al-Qur’an? Harapan yang berlebihan akan membuat anak merasa tertekan dan kehilangan orientasi. Padahal, lebih penting membuat anak bahagia dengan menjadi versi terbaik dirinya sendiri, daripada memaksanya untuk menjadi sukses menurut versi orang tuanya.
Kedua, melanggar hak anak atas tubuhnya.
Menyadari kepemilikan tubuh atau hak atas tubuh sendiri adalah modal dasar yang memberi kekuatan pada anak untuk dapat melindungi tubuhnya hingga ia dewasa. Hal ini dalam pola asuh anak, penting untuk mencegah terjadi kekerasan atas dirinya.
Namun orang tua seringkali tidak menyadari hak yang satu ini. Bayi perempuan misalnya, seringkali dipakaikan aksesoris yang beresiko membahayakan tubuhnya, juga pakaian model tertentu yang membatasi keleluasaan geraknya. Lucu, cantik dan menggemaskan memang, namun ini kan menurut perspektif orang dewasa. Sementara bayi itu sendiri sama sekali belum mengerti konsep cantik itu apa.
Bantu anak-anak untuk menemukan self image positif menurut versinya sendiri. Anak perempuan misalnya, ajari ia untuk belajar tentang konsep “inner beauty“. Kecantikan perempuan tidak semata diukur dari rambutnya yang panjang, bukan bergantung pada aksesoris yang dipakai, tidak harus mempunyai gaya feminim dengan hak sepatu tinggi yang merugikan kesehatan, tidak harus mempunyai kulit yang putih glowing seperti boneka barbie dan sebagainya. Hal ini akan mencegah ia menjadi objek produk kapital yang menstandarisasi kecantikan perempuan menurut versi pasar.
Beri anak kebebasan untuk melakukan hal-hal yang dia sukai atas tubuhnya sepanjang tidak melanggar etika. Misalkan anak ingin rambutnya panjang atau pendek, biar dia sendiri yang memutuskan. Beri pengertian pada anak bahwa setiap pilihan punya konsekuensi. Misalnya jika anak ingin punya rambut panjang, maka konsekuensinya dia harus belajar merawat rambutnya sendiri agar bersih dan tidak berkutu. Jelaskan kalau rambutnya berkutu itu bisa menular ke orang lain dan itu artinya merugikan orang lain.
Jelaskan dalam pola asuh anak, bahwa tubuhnya adalah miliknya dan dia punya hak untuk menolak setiap perlakuan yang tidak nyaman atas dirinya. Ajari anak untuk berani berkata “tidak” jika dia tidak ingin dicium misalnya. Dan biasakan meminta izin anak setiap kali kita ingin mencium atau memeluknya dengan mengatakan. “Ibu/ayah mau cium pipi boleh?” jika anak menolak jangan dipaksa segemas apapun kita.
Ketiga, mengabaikan privasi anak.
Salah satu yang sering luput dari perhatian orang tua di era digital adalah melindungi privasi anak dalam bermedia sosial. Memposting foto atau video anak yang lucu dan menggemaskan di media sosial memang menjadi hiburan tersendiri, juga bisa menjadi sarana edukasi, tergantung konten yang diposting. Namun hal ini juga mengandung resiko keamanan yang cukup serius, karena foto atau video yang dipublikasi secara terbuka bisa saja disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Terpenting, tidak semua anak-anak merasa senang dirinya terpublikasi, apalagi jika yang dipublikasi adalah hal-hal yang menurutnya memalukan, meski untuk orang lain menjadi hiburan. Maka penting untuk menghormati privasi anak atas data priadinya. Mintalah izin atau persetujuan anak setiap kali orang tua ingin memposting foto atau videonya. Dan usahakan meminta izin anak ketika kita ingin mengambil gambarnya dengan kamera, karena ini juga adalah salah satu etika dalam berfotografi.
Pentingnya menanamkan konsep consent sejak dini dalam pola asuh anak
Adalah penting meneladankan konsep consent (persetujuan) sedini mungkin, yakni sejak anak sudah bisa diajak bicara dan bisa memilih. Hal ini bisa dilatih misalkan dengan memberi kebebasan pada anak untuk memilih baju apa yang ingin dia pakai setiap kali selesai mandi. Tawarkan pada anak apakah mau memakai baju warna biru atau warna kuning misalnya. Kebiasaan untuk memberikan hak dasar ini akan tertanam di bawah sadarnya dan membentuk karakter dirinya sebagai manusia yang sadar akan haknya sebagai manusia.
Jika kita menghormati batasan anak sejak kecil, maka dia akan bisa membela diri dengan tegas dan berani ketika ada orang yang mencoba melanggar batasan itu. Pun sebaliknya, kelak anak akan belajar untuk bisa menghargai batasan orang lain. Sadari bahwa anak pada hakekatnya bukanlah milik kita. Anak adalah manusia merdeka yang mempunyai hak atas dirinya, termasuk hak atas harapan dan cita-citanya, hak atas tubuhnya, dan hak atas data privasinya. []