Mubadalah.id – Tatanan nilai dan pokok dasar kehidupan pesantren yang digunakan KH. Husein Muhammad dalam gerakan pembelaan hak-hak perempuan adalah aplikasi perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin, sebagaimana yang dapat ditemukan pada literatur yang diwajibkan di dalamnya.
Sedangkan hirarki kekuasaan kiai kerap kali menjadi sebagai penguasa tunggal dan absolut yang terakui dalam kehidupan di pesantren.
Demikian besar kekuasaan kiai atas santrinya, sehingga si santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moral dalam kehidupan pribadinya.
Seorang santri merasakan kewajiban moral untuk berkonsultasi dan mengikuti petunjuk-petunjuk kiainya. Sikap hormat, takdzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang tertanam pada setiap santri.
Ideologi Patriakhi
Ideologi patriarkhi yang melekat dalam masyarakat yang hidup di pesantren berubah menjadi ajaran agama atau keyakinan agama tidak hanya karena kepentingan para ulama untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya semata.
Namun karena pesantren memiliki nilai, norma dan budaya yang ada dalam kitab kuning. Padahal kitab kuning tersebut sudah ada pada abad 14 atau 15 masehi. Yang isinya kadangkala bertentangan dengan kondisi lokal waktu dan tempat di mana pesantren itu ada.
Di samping nilai dan hirarki, posisi kitab kuning sebagai rujukan utama pesantren dalam memahami agama. Serta menjadi landasan kehidupan juga menjadi faktor yang dominan dalam memberikan semangat hidup masyarakat pesantren.
Pandangan-pandangan kitab kuning sebagai literatur utama pesantren sangat mempengaruhi para santri dalam kehidupan pribadinya.
Kiai Husein menganggap bahwa hal tersebut sebagai doktrin agama. Karena tradisi pesantren memandang kitab kuning karya para ulama besar terdahulu berikut dalil-dalil teks sucinya, baik al-Qur’an maupun hadits nabi. Di mana hal ini yang kerap menafsirkannya secara skriptual sebagai kebenaran dan kebaikan yang datang dari agama.
Karena dalam tradisi pesantren sampai hari ini kritik terhadap kitab keagamaan klasik dan terhadap para ulama adalah tindakan tidak sopan dan tidak berakhlak.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.