• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Perempuan Versus Perempuan

Kenapa sih sesama perempuan justru berkompetisi? Mengapa tidak saling mendukung dan mengapresiasi?

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
30/09/2020
in Personal, Rekomendasi
0
209
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa hari lalu saya menulis di Instagram tentang kompetisi perempuan dengan perempuan lainnya. Setelah berbicara dengan beberapa teman, ternyata mereka juga merasakan rivalitas itu di sekelilingnya. Jangankan dengan orang yang asing, teman dekat kita mungkin ada yang menganggap kita adalah saingannya.

Sehingga apapun yang kita lakukan akan menimbulkan kritik bahkan intimidasi. Ketika kita melakukan suatu pencapaian, mereka tidak senang, iri, atau hanya diam saja enggan mengapresiasi. Mungkin kita memiliki teman-teman yang seperti ini, sering berkomunikasi dengan kita tapi absen dalam mengapresiasi.

Dari sudut pandang Psikologi Evolusi yang dicetuskan oleh David Buss, ada istilah “kompetisi intraseksual”, yaitu laki-laki yang bersaing dengan laki-laki dan persaingan antar sesama perempuan. Tapi karena perempuan lebih ekspresif dalam mengkomunikasikan perasaan dan pemikirannya baik secara verbal maupun bahasa tubuh, maka persaingan ini lebih terlihat.

Padahal sebenarnya laki-laki juga berkompetisi dengan laki-laki lainnya. Dalam kesetaraan dalam area publik, perempuan bahkan tidak hanya bersaing dengan sesama perempuan, tapi juga dengan laki-laki agar diperhitungkan keberadaannya.

Teman saya bercerita bahwa memiliki Bude yang meremehkan kemampuan dan keinginannya, juga berusaha menjatuhkannya. Budenya berusaha mendiktenya sesuai keinginan dan berusaha menempatkannya terbatas hanya di area domestik saja.

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Mungkin ada teman kerja kita yang selalu berusaha ingin lebih unggul dari kita, bahkan berusaha menjatuhkan kita dengan segala intrik. Mungkin kita pernah melihat, dua perempuan saling memukul atau berteriak karena memperebutkan seorang lelaki. Mungkin kita pernah melihat, dalam gerbong wanita ada yang saling menjambak hanya karena memperebutkan kursi.

Ketegangan antar sesama perempuan menjadi suatu hal yang biasa kita lihat dan dengar. Sesama perempuan melakukan perundungan karena pakaian yang dikenakan perempuan lain. Sesama Ibu menilai dan menghakimi Ibu lainnya karena gaya pengasuhan yang berbeda.

Menjadi Ibu rumah tangga akan disebut “sayang ilmunya tidak terpakai”, tapi menjadi Ibu pekerja disebut sebagai “part time Mommy”. Akan ada ketegangan ketika membicarakan Ibu yang memberi ASI dan Ibu yang memberi susu formula pada anaknya.

Perempuan yang single akan terus dibombardir dengan pertanyaan kapan akan menikah. Setelah menikah akan dihujani pertanyaan kenapa belum hamil. Setelah memiliki anak, akan ditanya kapan memiliki anak lagi, dst. Padahal setiap perempuan itu multiperan, memiliki tantangan dan masalahnya masing-masing. Orang-orang yang memberi banyak tekanan sebenarnya tidak peduli dengan kehidupan kita.

Mengapa ya, energi untuk mengurusi hidup orang lain dan menjatuhkan orang lain tidak diganti dengan energi positif ? Sehingga menciptakan lingkungan dan komunitas yang saling menguatkan. Apakah tidak capek hidup dengan rasa tidak suka bahkan benci pada orang lain?

Secara umum, kita didorong untuk memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Jikaa kita ingin dihormati, tentu harus menghormati. Sehingga saling menghormati dan hubungan kesalingan akan menguatkan.

Untuk hubungan personal, lebih baik memperlakukan orang lain seperti orang itu ingin diperlakukan. Karena apa yang membuat kita nyaman, belum tentu nyaman juga bagi orang tersebut. Untuk itu, penting untuk memahami bahasa cinta orang-orang terdekat kita.

Menurut Gary Chapman, bahasa cinta (love language) ada lima, yaitu waktu yang berkualitas, kalimat afirmasi, sentuhan, memenerima hadiah, dan melayani. Bahasa cinta ini tidak hanya penting untuk memahami sesama perempuan, tapi juga untuk segala hubungan, termasuk dalam mencintai diri sendiri.

Saya mengamati bahwa tidak semua orang mampu memahami bahasa cintanya sendiri, jadi untuk mengekspresikan cintanya kepada orang lain pun jadi tak mudah. Ketika kita melakukan suatu pencapaian, lolos dalam suatu perlombaan atau mendapatkan kebahagiaan, kita pasti senang jika orang lain mengapresiasi meski hanya dengan kata “selamat”.

Tapi nyatanya, kesalingan dalam hubungan ini menjadi hal yang perlu diusahakan. Kita suka saat orang lain menghargai dan mengapresiasi kita, tapi kadang kita lupa untuk melakukan hal yang sama. Bahkan untuk mengucapkan “terima kasih” atas kebaikan dan perhatian orang lain, sebagian enggan melakukannya.

Banyak hal yang kita dapatkan dengan “taken for granted” atau tidak mensyukuri dan menerima kebaikan seseorang begitu saja. Ini berarti kita tidak mensyukuri keberadaan seseorang atau sesuatu karena kita pikir bahwa mereka akan selalu ada.

“It’s mistake to take family and close colleagues for granted. When those closets to you feel ignored and betrayed \, everything you have built can collapse in an instant.”

– Haemin Sunim

Teman saya mengatakan bahwa ketika dia vokal terhadap isu-isu tertentu, yang datang untuk mengapresiasi dan berterima kasih padanya justru orang yang tidak dekat dengannya bahkan juga orang asing. Ini salah satu hal “taken for granted” yang tidak kita sadari.

Penting bagi kita memiliki support system yang baik, untuk dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung kita baik dalam sikap maupun secara verbal. Jadi kita tahu bahwa ada orang-orang yang mendukung kita, sehingga kita tidak merasa sendirian. Dengan mendiamkan perjuangan orang terdekat kita, mereka akan merasa berjuang sendirian.

Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku Dear Ijeawele mengatakan pada anjuran kesepuluh tentang bagaimana membesarkan anak feminis, “Kelilingi dia dengan bibi-bibi dan wanita-wanita berkualitas yang bisa dikagumi oleh anakmu. Anak-anak meniru dan belajar berdasarkan contoh. Bicara tentang apa yang kau kagumi dari mereka.”

Kalau kita dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang menganggap kita sebagai rival, kita juga akan ikut dalam permainan mereka. Tidak akan ada apresiasi dan dukungan, malah saling menjatuhkan dan merendahkan. Kita boleh mengkurasi teman, mengevaluasi siapa saja perempuan-perempuan yang supportif dan siapa yang tidak. Orang-orang terdekat kita yang berada pada layer pertama lingkar pengaruh kita harusnya mereka yang membantu kita berkembang dan kita juga membantu mereka.

Mereka yang tidak mendukung kita, atau yang absen dalam mengapresiasi, harusnya tidak disebut sebagai support system. Sekalipun mereka adalah keluarga atau sahabat lama. Empowered women, empower women. Perempuan yang berdaya harusnya memberdayakan perempuan lain. Kita bukannya tidak memiliki waktu untuk itu, kita hanya tidak mau berbagi waktu. []

Tags: Bahasa CintaKesalinganperempuan
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID